Jumat, Oktober 14

Cermati Makanan Rohanimu (bagian 2)


Berikut ini adalah menu makanan rohani:

1. Dzikir
Kata dzikir berasal dari akar kata "Dzaka-ra-Yadzkuru-Dzikran", memiliki arti menyebut sesuatu, merupakan antonim (lawan kata) dari kata ghaflah atau nisyaan yang berarti lupa. Sebagian pakar mendefinisikan dzikir dengan mengucapkan dengan lidah atau menyebut sesuatu.
Kemudian, makna ini berkembang menjadi "mengingat" lantaran aktifitas mengingat sesuatu seringkali mengantarkan seseorang pada menyebutnya dengan lisan.
Demikian juga, ketika lisan menyebut sesuatu secara berulang-ulang juga mengantarkan hati untuk lebih banyak lagi mengingat apa yang disebut oleh lisan.
Tak kurang dari 280 kali kata dzikir terulang dalam Al-Quran. Selain bermakna menyebut dan mengingat, Al-Quran juga menuturkan dzikir dalam arti shalat. Misalnya, Qs. Al-Jumu'ah, 62: 9, "Wahai orang-orang yang beriman bila kalian telah dipanggil untuk melaksanakan shalat Jumat bersegeralah menyebut nama Allah SWT (shalat Jumat) dan tinggalkanlah jual beli ...".
Sehingga boleh dikatakan dzikir lebih umum daripada shalat. Shalat sudah tentu dzikir, namun dzikir belum tentu shalat. Secara garis besar, dzikir dapat dikategorikan menjadi dua macam, Ma'tsuuraat dan Ghairu Ma'tsuuraat.
Dzikir yang Ma'tsuuraat adalah jenis dzikir yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, semisal membaca lafal Subhanallah (tasbih), Al Hamdulillah (tahmid), Laailaahaillallahu (tahlil), Allaahu Akbar (takbir), Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billaahi (hauqalah), Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilahi Raajiuuna (tarjii'), dan masih banyak lagi yang tak mungkin disebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Sebaliknya Ghairu Ma'tsuuraat yaitu jenis dzikir yang diajarkan oleh para ulama salafus shalih (sahabat tabi'in dan tabiut tabi'in). Dzikir jenis ini boleh diamalkan meski Nabi SAW tidak mengajarkannya. Namun, untuk dzikir jenis ini dibutuhkan syarat-syarat tertentu untuk mengamalkannya. Diantara syarat tersebut yaitu Ijaazah, artinya calon pengamal harus mengantongi sanad muttashil (urut-urutan nama yang bersambung sampai kepada sang penganjur atau pembuat menu dzikir baik sahabat, tabi'in atau tabiut tabi'in). 

2. Wirid
Secara bahasa, wirid berasal dari kata "Warada-Yaridu-Wuruudan-Wirdan" yang berarti hadir atau datang. Kata ini memiliki banyak arti tergantung konteks kalimatnya.
Secara istilah, wirid didefinisikan sebagai amalan-amalan keagamaan baik berupa bacaan Al-Quran atau doa-doa tertentu maupun aktifitas ibadah seperti shalat sunah, malam, atau siang hari yang dilakukan secara continue atau terus menerus.
Fadhl bin Alwi bin Muhammad Sahl al Husainy, seorang pakar wirid, memaknai wirid atau ratib sebagai kumpulan dzikir, doa, dan kegiatan yang mengarah kepada Allah SWT yang disusun untuk mengingat, merenung, dan memohon perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai macam keburukan dan meraih kebajikan. Sebut saja misalnya raatibul haddad (kumpulan ayat Al-Quran Wirdul latfi, wirdul istighfaar).
Ketika itu, dikenal dua kategori besar wirid. Pertama, dilakukan secara terang-terangan atau berjama'ah. Kedua, dilakukan secara individual bahkan rahasia. Tidak sembarang orang boleh mengamalkannya.
Sejak itu, kata wirid diidentikkan dengan kata dzikir meskipun dzikir tidak harus dilakukan secara continue yang menjadi ciri wirid. Kendati istilah wirid dalam pengertian ini tidak dikenal pada masa Nabi SAW, bukan berarti bid'ah atau tidak memiliki pijakan dasar dari tuntunan agama. 

3. Hizb
Secara bahasa, hizb berarti kumpulan atau kelompok. Menurut istilah, hampir sama dengan wirid, namun lebih spesifik pada racikan dari berbagai bahan dasar semacam ayat Al-Quaran, doa-doa tentu atau shalawat. Bila wirid, berdasarkan makna kata menuntut keberlanjutan, tidak demikian dengan hizb.
Lazimnya, hizb diamalkan dalam situasi atau kondisi tertentu. Meskipun ada yang memahami tidak ada perbedaan antar hizb dan wirid. Misalkan Hizbun Nashar (racikan beberapa ayat Al-Quran dan doa-doa yang dimaksudkan memohon pertolongan kepada Allah SWT).
Memang, jenis Hizb yang satu ini akrab di kalangan santri Nahdyiyiin (NU). Biasanya, hizb ini dibaca dalam keadaan terdzalimi atau untuk mengusir musuh. Hal ini merujuk pada materi (isi) dari hizb ini.
Selain Hizbun Nashar, dikenal puluhan bahkan ratusan hizb. Diantaranya, Hizbul Bahr, Hizbul Yaman, Hizbul Hafidz, Hizbul Barq, Hizbul Maghluub, Hizbu Sayyid Ali dan sebagainya.
Oleh karena itu, kita atau siapapun yang hendak membacanya sangat dianjurkan untuk memiliki sanad membaca melalui Ijaazah dari seorang Mursyid (guru spiritual yang telah lebih dahulu memiliki sanad).

Disadur dari : Tabloid Islami Dwi Mingguan Khalifah


EmoticonEmoticon

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...