Kamis, November 3

Takdir dan Usaha


Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.
Untuk memahami konsep takdir, jadi umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan
Pada masa nubuah,wujud"Lauh"yang dikenal oleh para sahabat adalah sebidang papan atau tulang yang biasa ditulisi.Papan dan tulang itu hanya disebut Lauh jika sudah ditulisi.Sedangkan "Qalam"adalah alat tulis atau pena. Pada masa itu"Qalam"berupa bulu unggas yang dipakai untuk menulis setelah dicelupkan ke tinta terlebih dahuluatau sebatang ranting/ kayu yang diruncingkan untuk mengores "Lauh". Demikianlah penggambaran yang diberikan oleh Ibnu Manzhur dalam kitab "Lisanul Arab".
Mengenai Lauh Mahfuzh (Lauh yang selalu dijaga) dan pena yang telah menulisinya ada sebuah atsar marfu'dari Ibnu 'Abbas .Beliau berkata,"sesungguhnya Allah menciptakan Lauh Mahfuzh dari mutiara putih. Kedua sampulnya dari permata yaqut merah.Qalamnya adalah cahaya,tulisanya adalah cahaya, dan lebarnya sejarak antara langit dan bumi,"
Tulisan pada Lauh Mahfuzh
Takdir Allah untuk setiap dan semua mahluk bresifat azali. Sebelum Allah menciptakan semua mahluk-temasuk Qalam dan Lauh Mahfuzh-Allah sudah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh setiap makhluk. Kemudian pada masa 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi Allah mencitakan Qalam,lalu diperintahkanya Qalam untuk menulis semua takdir. Hal ini dapat kita pahami dari kedua hadist berikut ini:
"Allah menulis takdir pada mahkluk 50.000 tahun sebelum diciptakanya semua langit dan bumi."(H.R.Muslim dari Abdullah bin 'Amru bin 'Ash)
"Benda pertama yang diciptakan oleh Allah adalah pena.Allah berfirman,'Tulislah!'Pena menjawab,'Apa yang aku tulis?'Allah berfirman,'Tulislah takdir yang telah terjadi dan akan terjadi selamanya!'."(H.R.at-Tirmidziy dan dinyatakan shahih oleh al-Albaniy)
Hal ini juga telah Allah terangkan di dalam al-Qur'an. Allah berfirman,
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kamami menciptakanya.Sesungguhnya Allah mengetahuinya apa saja yang ada dilangit dan dibumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).Sesungguhya yang demikian itu amat mudah bagi Allah."(Q.S.al-Hajj:70)
Apa yand terjadi diseluruh alam dijadikan oleh Allah dengan iradah dan masyiah-Nya yang berporos pada rahmat dan hikmah-Nya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki tersesat dengan hikmahNya.semua itu dan semua takdir telah ditulis didalam Lauh Mahfuzh.tidak ada seorang pun yang terlewatkan.Apa yang telah terjadi dan akan terjadi sampai hari kiamat. Dan saat kejadianya,semuanya persis seperti apa yang tertulis disana. Tidak sesuatu pun yang bergeser.Ini adalah bukti kesempurnaan ilmu,kuasa dan hikmah Allah.

Dimensi Ketuhanan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).
Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2)
Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70)
Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al Maa'idah / QS. 5:17)
Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149)
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)
Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat (Kausalitas).

Dimensi kemanusiaan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar Ra'd / QS. 13:11)
(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Al Mulk / QS. 67:2)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga mereka akan bersedih (Al-Baqarah / QS. 2:62). Iman kepada Allah dan hari kemudian dalam arti juga beriman kepada Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir.
... barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir... (Al Kahfi / QS. 18:29)

Implikasi Iman kepada Takdir

Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah terjadi.
Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).
Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.
Memahami Takdir Illahi. Di dalam memahami takdir Illahi, setiap manusia harus merujuk pada apa yang terdapat dalam Rukun Iman yang telah di paparkan dalam Hadis Rasulullah Saw yakni Percaya pada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir dan percaya pada Qada dan Qadar-Nya. Keenam poin yang termaktup dalam Rukun Iman di atas harus kita yakini seyakin-yakinya, guna melahirkan dan menumbuhkan ketabahan dan kesabaran yang penuh di dalam menerima ujian dan cobaan dari Allah Swt, karena tidak ada manusia yang tidak luput dari cobaan dan ujian. Dan mewujudkan kepercayaan yang tinggi bahwa dalam penciptaan manusia, Allah Swt menetapkan apa yang di sebutkan agama dengan langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Serta segala sesuatu yang baik ( kenikmatan ) atau segala sesuatu yang buruk (bencana maupun musibah).
Lima poin di atas kebanyakan dari manusia khususnya manusia muslim mungkin sudah bisa merealisasikanya dengan baik dan benar melalui amal ibadah kita sehari-hari. Apakah itu amalan yang di kerjakan secara munfarit (sendiri) atau berjamaah, saling sehat-menasehati dan menaburkan kebaikan yang kesemuanya itu terangkum dalam ber-Amar Makruf dan ber-Nahi Mungkar. Dengan satu pengharapan, keridhoan dan pahala dari Allah Swt. Lalu bagaimana dengan poin ke enam mengimani dan mempercayai adanya takdir dalam bentuk Qada & Qadar yang di voniskan Allah Pada umat manusia?, bagaimana pula kita memahami dan mengimaninya ? sehingga apapun bentuk takdir apakah itu baik atau buruk, rasa syukur dan optimis tetap di terapkan dalam hidup dan kehidupan ini, dengan satu tekad Allah pun pasti memberikan jalan keluarnya.
Mengimani takdir Ilahi atau Qada & Qadar akan memberikan pelajaran pada manusia, bahwa segala sesuatu yang telah dan yang akan terjadi di jagat raya ini sudah sesuai dengan kebijaksanaan yang telah di gariskan oleh zat yang maha tinggi. Sebagai muslim sejati kita dituntut untuk mentaati, menerima dan mematuhi. Seperti yang di firmankan Allah Swt dalam Qs Al Ahzab-36 “ Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia berada dalam kesesatan yang nyata “
Setiap manusia memiliki ketentuan/ketetapan yang telah di gariskan Allah dalam hidupnya, seperti yang di tegaskan Allah dalam Qs Ahzab-36 di atas. Namun memahami takdir ( Qada & Qadar ) acap kali melahirkan ketidak cocokan dan kesalahpahaman. Oleh karena itu untuk menyingkapinya kembali suatu keharusan memperhatikan dengan seksama (Al Quran dan Hadis Saw ) yang menjelaskan akan hal tersebut. Agar kita bisa meluruskan segala hal yang terjadi sesuai dengan sikap positif dalam Islam ( Positive Thinking ).
Kalimat Qada & Qadar berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna di antaranya Qada yang berati “Hukum” atau “Keputusan”. Hal ini dapat kita pahami dalam Qs An Nisaa-65 “ Maka demi tuhan mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. Dalam menerima suatu keputusan/ketetapan apalagi yang datangnya dari Allah Swt keikhlasanlah yang akan di tuntut dari seoraqng hamba. Qada, yang berarti juga “Kehendak” atau “Menjadikan” yang di maksud di sini telah di terangkan Allah Qs Ali Imran-47 “ Maryam berkata yaa tuhanku apakah mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah di sentuh oleh seorang laki-laki manapun, Allah berfirman ( dengan perantaraan Jibril ) Demikianlah Allah menciptakan apa yang di kehendakinya. Apabila Allah berkehendak untuk menciptakan sesuatu maka Allah hanya cukup berkata “Jadilah” lalu jadilah dia”. Hal ini juga dapat kita lihat dalam Qs Fushshilat-12, yang mengupas tentang ketentuan Allah terhadap alam semesta dan jagat raya ini.
Begitu juga dengan kalimat Qadar yang bermakna “Ukuran” firman Allah dalam Qs Ar Ra’d-17 yang menjelaskan bagaimana Allah Swt mengumpamakan yang benar itu sebagai air atau logam yang bermanfaat, sedangkan yang buruk/bathil itu sama dengan buih/sisa, tahi logam yang akan lenyap dan tidak ada guna sama sekali bagi manusia. Qadar Allah juga berarti “Kepastian” “Lalu Kami tentukan bentuknya maka Kami sebaik-baik yang mementukan ( Qs Al Mursalat-23 ). Sedangkan dalam bahasa Indonesia Qada & Qadar dalam artian sederhananya biasa kita sebut dengan Takdir Ilahi atau ketentuan Allah Taalla.
Pernah seorang teman mengeluh saat ia mendapat cobaan berkali-kali. “Mengapa ya Tuhan tidak bersikap adil kepada saya? Sampai sekarang saya masih saja menderita. Takdir saya buruk sekali! Mengapa Tuhan tidak kasihan kepada saya?”
Saat itu saya tidak mau menjawab persoalan yang tidak mudah ini. Saya hanya katakan agar ia bersabar terhadap ujian Allah SWT itu. Mudah-mudahan itu akan menjadi kafarat atas berbagai dosa dan jadi tabungan baik di akhirat kelak.
Namun tetap saja ia tidak puas dan masih tetap mengeluh, “Saya sudah lakukan semua perintah Allah. Setiap hari saya berdoa agar saya dilepaskan dari berbagai derita. Namun tetap saja Allah tak mendengar dan tak mau mengabulkan do’a saya.”
Bagaimana Anda menjawab persoalan pelik ini?
Ini memang bukan teka-teki hidup yang mudah kita pahami. Banyak rahasia Allah SWT yang tidak bisa ditembus oleh ketinggian pengetahuan dan teknologi manusia. Apa arti dari semua peristiwa kehidupan ini? Mengapa tiba-tiba turun bencana besar yang menghabiskan segalanya dan menewaskan ribuan manusia? Mengapa Amerika dan Israel yang menguasai dunia? Mengapa orang jahat lebih kaya dan lebih sejahtera hidupnya, sementara orang-orang baik dan suci menderita? Mengapa koruptor besar itu dibebaskan? Mengapa perbuatan baik kita tidak mendapat ganjaran sepadan? Mengapa para Nabi bisa dibunuh? Mengapa mereka tidak menang saja? Apakah Tuhan tidak menolong mereka?
Pasti banyak pertanyaan-pertanyaan besar seperti itu yang susah untuk bisa kita jawab. Sebelum saya melanjutkan diskusi ini, saya ingin mendapat masukan Anda semua, para pembaca.
Silakan berkontribusi ya!
Sambil menunggu pendapat yang lain, saya coba kutip satu masukan menarik tentang apa itu takdir, yang saya peroleh dari buku “Anak, Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan”, karangan Prof. Muhammad Taqi Falsafi.
Disitu diambil sebuah ilustrasi tentang seseorang yang mencoba menjatuhkan dirinya dari atas sebuah gedung bertingkat tinggi ke sebuah batu marmer yang keras. Orang tua itu berkata, “Kalau memang sudah ditakdirkan mati, maka saya akan mati. Dan jika ditakdirkan hidup, pasti saya akan tetap hidup.”
Menurut Prof. Falsafi, sungguh orang ini telah keliru besar memahami persoalan takdir. Katanya, Allah SWT telah mempunyai takdir-takdir paksaan dalam masalah ini dan juga punya takdir ikhtiar di sisi yang lain.
Adapun takdir paksaan dalam masalah ini adalah:
1. Qadha dan qadar Allah telah menjadikan marmer sebagai batu keras dan kuat
2. Tengkorak kepala manusia diciptakan (berdasarkan qadha dan qadar Allah) dari tulang yang lembut dan berpotensi untuk pecah.
3. Qadha dan qadar Allah telah menetapkan adanya hukum gravitasi yang akan membuat benda jatuh ke tanah.
4. Qadha dan qadar Allah memutuskan bahwa setiap orang yang melemparkan diri dari ketinggian ke tanah yang keras, niscaya tulangnya akan hancur berantakan dan otaknya berhamburan keluar.
5. Qadha dan qadar Allah juga memutuskan bahwa setiap manusia harus mati ketika otaknya hancur.
6. Qadha dan qadar Allah jua telah memutuskan bahwa manusia mempunyai kehendak dan ikhtiar/pilihan. Ia bisa menjatuhkan dirinya lalu mati, atau menahan diri untuk tidak melakukan bunuh diri itu, lalu turun menuruni tangga dengan selamat.
Lalu beliau mengutip satu riwayat dari Ibnu Nabatah, bahwa Ali bin Abi Thalib kw, pernah pada suatu hari berpindah dari satu tembok ke tembok yang lain. Para sahabat menegur beliau, “Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari qadha Allah?” Imam Ali menjawab, “Saya lari dari qadha Allah menuju qadar Allah Azza wa Jalla.”
Maka, kalau kedua kalimat di atas di konotasikan dengan Allah akan menjadi Qada Allah dan Qadar Allah yang mengambarkan konotasi yang saling mengisi dan melengkapi yang bersifat tetap, istilah agamanya di kenal dengan “Sunatullah” atau segala sesuatu bergerak sesuai dengan ketentuan dan kehendak dari sang maha pencipta dan maha mengetahui. Jelasnya kita sebagai manusia yang di beri akal, pikiran dan hati dapat mementukan pilihan dalam berbagai masalah, sebagai khalifah dalam kebebasan tersebut yang di berikan Allah dalam hal iman atau kafir, baik atau buruk, sorga atau neraka. Namun dalam hal tertentu pula baik di dunia maupun di akherat akan di gariskan pula oleh Allah Swt.
Di dalam memahami Takdir Illahi atau Qada & Qadar Al Quran Nul Karim dan sunah Rasulullah Saw memberikan beberapa tahapan yang harus di kaji lewat pemahaman yang mendalam dari manusia, agar manusia itu tidak terjerembab masuk ke lumpur dosa dan rasa keputus asaan akibat rasa pesimis dalam menerima takdir tersebut. Di antaranya : Al-Iim (pengetahuan) yaitu mengimani dan meyakini bahwa Allah itu maha tahu atas segala sesuatu apa-apa yang ada di langgit dan di bumi. Baik secara umum maupun secara terperinci dan detail, baik perbuatan yang di nampakan maupun yang tersembunyi, baik perbuatan-Nya, perbuatan makhlik-Nya dan tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya.
Al Kitabah ( Penulisan ) yaitu mengimani bahwa Allah Swt telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh yang ada di sisi-Nya. Allah Swt berfirman dalam Qs Al Hajj-70 “ Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langgit dan di bumi, bahwa yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab ( Lauh Mahfuzh ) bagi Allah. Mengenai Ayat ini pernah di pertanyakan pada Rasulullah Saw, mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah, nrimo saja dengan takdir, garis, nasib yang telah tertulis yaa Rasulullah ?. Beliau Saw memjawab, berusahalah kalian, masing-masing akan di mudahkan menurut takdir yang telah di tentukan baginya. Seperti yang di firmankan Allah Swt dalam Qs Al Lail ayat 5-11 “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah bertaqwa, membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka, kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah dan adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup maka kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa (mati). Manusia hanya bisa berusaha semaksimal mungkin, Allah Swt yang menentukan segalanya. Musibah dan bencana dalam bentuk dan rupa apapun merupakan takdir Illahi yang akan di alami setiap orang tidak ada yang bisa mengelak dari hal ini.
Pemahaman yang lain yang harus kita miliki dalam mengimani takdir Ilahi adalah Al Masyi’ah (kehendak) dari Allah Swt lihat Qs At Takwir-28-29 yang menerangkan bahwa kehendak Allah yang berlaku secara mutlak terhadap alam semesta ini. Al Khalq (Penciptaan) yaitu mengimani bahwa Allah Swt pencipta dari segala sesuatu, apa yang ada di langgit dan di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah Swt sampai pada kematian dengan sebab apapun di ciptakan Allah Aza Wajalla. (lihat Qs Al Mulk-2.)
Dengan segala keterbatasan dan kekuarangan yang kita punyai sebagai manusia di sela-sela kelebihan yang di miliki Allah, hendaknya selalu menjadi renungan bagi diri untuk selalu mematuhi segala perintah dan larangan-Nya. Semoga takdir dan keadaan yang buruk dan menyusahkan di jauhkan Allah dalam kehidupan kita. Dengan memantapkan Ikhtiar dengan sungguh-sungguh serta suatu keyakinan bahwa apa-apa yang kita inginkan tidak akan datang dengan sendirinya. Namun, untuk meraih itu semua di butuhkan usaha dengan benar dan penuh kesabaran sambil bertawakal dan menyerahkan diri pada Allah Swt yang mengendalikan kebaikan dan keburukan itu.
Kalau hal ini sudah tertanam dalam jiwa, hati dan pikiran serta selalu berlaku sabar, maka pemahaman kita terhadap Takdir Ilahi dalam warna Qada & Qadar Insya Allah akan membwa kita pada jenjang iman dan taqwa di bawah lindungan sang Ilahi Rabbi, menanamkan kesadaran dalanm diri bahwa memang Dialah di atas segala-galanya. Serta senantiasa menyadari dan menerima realita, membangun kesabaran yang mantap yang akan menjadi pemicu dalam berusaha dengan bekal keoptimisan diiringi dengan doa dan tawakal pada-Nya. Diri kita ini seakan tiada berarti, ibarat sebutir debu di tenggah padang pasir yang luas tak bertepi, berhadapan dengan kemaha kuasaan dan kemaha perkasaan Allah Aza Wajalla… Allah Huu A’llam.

WANITA SOLEHAH....

Dalam Islam, peran domestik kaum istri memiliki kedudukan yang sangat mulia. Namun musuh-musuh Islam terus berusaha meruntuhkan sendi dasar rumah tangga ini dengan menggalang berbagai opini menyesatkan. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagian propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak wanita-wanita Islam.
Islam, oleh musuh-musuhnya, dituding sebagai ajaran yang tidak sensitif gender. Posisi wanita dalam Islam, menurut mereka, selalu termarginalkan atau terpinggirkan dalam lingkungan yang didominasi dan dikuasai laki-laki.
Permasalahan yang sering ‘diserang’ kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam adalah peran istri/ ibu dalam mengurusi tugas-tugas kerumahtanggaan. Oleh mereka, peran ibu yang hanya mengurusi tugas-tugas domestik hanya akan menciptakan ketidakberdayaan sekaligus ketergantungan istri terhadap suaminya.
Juga dikesankan bahwa wanita yang hanya tinggal di rumah adalah pengangguran dan menyia-nyiakan setengah dari potensi masyarakat. Propaganda ini didukung oleh opini negatif yang berkembang di masyarakat di mana wanita selama ini tak lebih dari sekedar “konco wingking”, wanita tak lepas dari “dapur, kasur, dan sumur”, “masak, macak, manak“, dan sebagainya. Oleh karena itu, agar wanita bisa “maju”, para wanita harus direposisi dalam ruang publik yang seluas-luasnya.
Gerakan ini gencar dilancarkan musuh-musuh Islam karena mereka sangat paham bagaimana merusak Islam dengan menjadikan wanita muslimah sebagai sasaran bidik. Dengan semakin jauhnya kaum wanita dari rumah, mereka berharap pintu-pintu kerusakan akan semakin terbuka lebar. Lebih jauh, jika wanitanya telah rusak, maka tatanan masyarakat Islam akan rusak pula.
Rumahmu Istanamu
Seorang wanita perlu mengetahui bahwa tempat asalnya berdiam adalah dalam rumahnya, dan rumah ini pula yang menjadi tempatnya bekerja. Dalil-dalil dari syariat yang mulia telah menetapkan dan mempersaksikan tentang hal ini, di antaranya:
- Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Ummahatul Mukminin:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)
Makna ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah perintah untuk selalu menetap dalam rumah. Walaupun sasaran pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun secara makna wanita selain mereka juga termasuk di dalam perintah ini. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 14/117)
- Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
لاَ تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْ بُيُوْتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri yang telah ditalak) dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Walaupun ayat di atas berkenaan dengan wanita/ istri yang tengah menjalani masa ‘iddah, namun kata ulama, hukumnya tidaklah khusus bagi mereka namun juga berlaku bagi wanita yang lain. (Daurul Mar’ah fi Tarbiyatul Usrah, Asy-Syaikh Shalih bin Abdillah Alu Fauzan, hal. 1. www.alfauzan.net)
- Pelajaran dari kisah antara Nabi Musa ‘alaihissalam dengan dua orang wanita di Madyan, yang Allah kisahkan kepada kita dalam Tanzil-Nya:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُوْنَ وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُوْدَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لاَ نَسْقِيْ حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ. فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ. فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِيْ يَدْعُوْكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لاَ تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْن. َقَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ
“Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, di sana ia menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternak mereka dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya. Musa berkata: ‘Apa maksud kalian berbuat begini, kenapa kalian tidak ikut meminumkan ternak kalian bersama mereka?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternak mereka, sedangkan ayah kami1 telah berusia lanjut.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya, kemudian ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu sembari berjalan dengan malu-malu, ia berkata: ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya, ia menceritakan kisah dirinya. Syu’aib pun berkata: ‘Janganlah takut, engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu (Fir’aun dan pengikutnya).’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’.” (Al-Qashash: 23-26)
Karena sifat wara dan takwa yang ada pada keduanya, kedua wanita ini enggan untuk bercampur (ikhtilath) dengan para penggembala tersebut. Adapun keduanya keluar rumah untuk memberi minum ternaknya adalah karena darurat, di mana sang ayah telah berusia senja sehingga tak mampu lagi mengurus ternak yang ada. Perjumpaan dengan Nabi Musa ‘alaihissalam membuahkan gagasan di benak salah seorang dari wanita tersebut bahwa telah tiba saatnya untuk mengembalikan perkara pada tempat yang semestinya, ia pun berkata kepada sang ayah: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Sang ayah pun menyambut usulan putrinya, kemudian berkata kepada Nabi Musa:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Berkatalah sang ayah: ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, aku tidaklah hendak memberatkanmu. Dan engkau Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.” (Al-Qashash: 27) [Daurul Mar’ah, hal. 1]
- Shalat di masjid sebagai satu amalan yang utama disyariatkan kepada kaum lelaki, banyak pahala akan diraih terlebih bila shalat itu dilakukan di Masjid Nabawi. Namun ternyata bersamaan dengan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kaum wanita untuk shalat di rumah mereka. Ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah, aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ, وَصَلاَتُكِ فِيْ بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ حُجْرَتِكِ, وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ, وَصَلاَتُكِ فِيْ دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ, وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن ْصَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِيْ
“Sungguh aku tahu engkau senang shalat jamaah denganku, namun shalatmu di ruang yang khusus yang ada di rumahmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad, 6/371, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Bila seorang wanita tetap tinggal di rumahnya, ia akan bisa menunaikan tugas-tugas dalam rumahnya, memenuhi hak-hak suaminya, mendidik anak-anaknya dan membekali dirinya dengan kebaikan. Sementara bila seorang wanita sering keluar rumah, ia akan menyia-nyiakan sekian banyak kewajiban yang dibebankan kepadanya. (Nashihati Lin Nisa’, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal. 101)
Keluar rumah saat ada hajat
Dari penjelasan di atas, janganlah dipahami bahwa wanita dilarang secara mutlak untuk keluar dari rumahnya. Bahkan terdapat keterangan dari syariat tentang kebolehan wanita keluar dari rumahnya saat ada kebutuhan dan karena darurat.
- ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah: “Suatu malam, Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha keluar dari rumahnya untuk membuang hajat. Ketika itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu melihatnya dan mengenalinya. ‘Umar pun berkata: “Engkau Saudah, demi Allah, tidak tersembunyi bagi kami.” Saudah pun kembali menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam di rumahku. Dalam keadaan tangan beliau sedang memegang tulang yang padanya ada sisa daging, turunlah wahyu, beliau pun berkata:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tuntunan kepada para suami untuk tidak melarang istri mereka shalat di masjid, bila si istri minta izin padanya:
إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا
“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)
Dan beliau menyatakan:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَََََََ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)
- Dari sejarah para shahabiyyah, kita mengetahui ada di antara mereka yang keluar menyertai mahram mereka ke medan jihad untuk memberi minum kepada mujahidin dan mengobati orang yang luka.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم يَغْزُوْ بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَة مِنَ الأنْصَارِ مَعَهُ إِذَا غَزَا فَيَسْقِيْنَ الْمَاءَ وَيُدَاوِيْنَ الْجَرْحَى
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita dari kalangan Anshar ikut bersama beliau ketika beliau berperang. Mereka memberi minum dan mengobati mujahidin yang terluka.” (HR. Muslim no. 1810)
Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anhu bertutur: “Aku pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh kali peperangan, aku menjaga dan mengurus tunggangan-tunggangan mereka (mujahidin), membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka dan merawat orang sakit.” (HR. Muslim no. 1812)
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan menyertai beliau dalam safarnya.
Keluarnya wanita dari rumahnya ini merupakan pengecualian dari hukum asal2 dan disebabkan kepentingan yang darurat dengan memperhatikan dan menjaga adab-adab ketika keluar rumah seperti berhijab dan sebagainya, dan juga tidak ada fitnah dan kerusakan yang akan timbul saat ia keluar rumah. Adapun bila wanita keluar rumah untuk bekerja karena memperhatikan bualan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu syaithaniyyah bahwasanya bila wanita tetap tinggal di rumahnya ia akan menjadi pengangguran, maka hal ini tidaklah dibolehkan oleh syariat yang agung dan sempurna ini. Bila sampai wanita keluar dari rumahnya karena memenuhi ajakan manis nan berbisa dari pengikut hawa nafsu tersebut maka akan terjadilah kerusakan yang besar di tengah masyarakat dan sendi-sendi keluarga pun akan hancur.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya dapat menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat dan mengobati mereka dan pekerjaan yang semisalnya yang khusus bagi wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil ‘Amal, hal. 5)
Arti wanita dalam keluarga
Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan dia merupakan satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “orang-orang besar.” Sehingga tepat sekali bila dikatakan: “Di balik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: Perbaikan secara dzahir, yang dilakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara yang dzahir. Ini didominasi oleh lelaki, karena merekalah yang biasa tampil di depan umum.
Kedua: Perbaikan masyarakat yang dilakukan dari balik dinding/ tembok. Perbaikan seperti ini dilakukan di rumah-rumah dan secara umum hal ini diserahkan kepada kaum wanita. Karena wanita adalah pengatur dalam rumahnya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang ditujukan ketika itu kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا
“Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Kami yakin setelah ini bahwasanya tidak salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritasnya tergantung pada wanita dikarenakan dua sebab berikut ini:
Pertama: Kaum wanita itu jumlahnya sama dengan kaum lelaki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh As-Sunnah An-Nabawiyyah. Akan tetapi hal ini tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu zaman dengan zaman lain. Terkadang di satu negeri jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki dan terkadang di negeri lain justru sebaliknya. Sebagaimana di satu masa kaum wanita lebih banyak daripada laki-laki namun di masa lainnya justru sebaliknya, laki-laki lebih dominan. Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang besar dalam memperbaiki masyarakat.
Kedua: Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dalam asuhan wanita. Dengan ini jelaslah tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat.” (Daurul Mar’ah fi Ishlahil Mujtama’, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Bila demikian keadaannya, apakah bisa diterima ucapan yang mengatakan bahwa wanita yang bekerja dalam rumahnya, berkhidmat pada keluarganya adalah pengangguran? Manakah yang hakekatnya lebih utama, lebih berhasil dan lebih bahagia, wanita yang tinggal di rumahnya, menjaga diri dan kehormatannya, melayani suami hingga keluarganya menjadi keluarga yang sakinah, penuh cinta dan kasih sayang, dan ia mengasuh anak-anaknya hingga tumbuh menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi masyarakatnya, ataukah seorang wanita yang sibuk mengejar karier di kantor bersaing dengan para lelaki, bercampur baur dengan mereka, sementara suami dan anak-anaknya ia serahkan pengurusannya kepada orang lain? Manakah yang lebih merasakan ketentraman dan ketenangan?
Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan berkhidmat pada keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pekerjaan di dalam rumahnya bukanlah semata-mata gerak tubuhnya, namun pekerjaan itu memiliki ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan rahasia terwujudnya insan. (Daurul Mar’ah, hal. 3)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا, وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, ia menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya maka ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja ia inginkan”. (HR. Ahmad, 1/191. Dalam Adabuz Zifaf, hal. 182, Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini hasan atau shahih, ia memiliki banyak jalan.”)
Surga sebagai tempat yang sarat dengan kenikmatan yang kekal abadi dapat dimasuki seorang wanita yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Allah, menjaga kehormatan dirinya dan taat kepada suaminya, dan tentunya semua ini dilakukan oleh seorang wanita di dalam rumahnya.
Pekerjaan wanita di dalam rumah
Beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan wanita di dalam rumahnya, seperti:
Pertama: ibadah kepada Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ummahatul Mukminin untuk berdiam di rumah mereka, Allah gandengkan perintah tersebut dengan perintah beribadah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ
“Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang terdahulu, tegaklah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Ahzab: 33)
Dengan menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, akan sangat membantu seorang wanita untuk melaksanakan perannya dalam rumah tangga. Dan dengan ia melaksanakan ibadah disertai kekhusyuan dan ketenangan yang sempurna akan memberi dampak positif kepada orang-orang yang ada di dalam rumahnya, baik itu anak-anaknya ataupun selain mereka.
Kedua: Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan dan ketenteraman) bagi suami dan juga bagi rumahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan (istri) dari diri-diri kalian agar kalian merasakan ketenangan padanya dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah…” (Ar-Rum: 21)
Seorang wanita tidak bisa menjadi sakan bagi suaminya sampai dia memahami hak dan kedudukan suami, kemudian ia melaksanakan hak-hak tersebut dalam rangka taat kepada Allah dengan penuh kesenangan dan keridhaan. Seorang wanita perlu mengetahui tentang besarnya hak suami terhadapnya, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suami.” (HR. Ahmad, 4/381. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa-ul Ghalil no. 1998)
Ketika suaminya telah meninggal pun ia diperintah untuk menahan dirinya dari berhias (ber-ihdad) selama 4 bulan 10 hari.
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى الْمَيِّتِ فَوْقَ ثَلاثٍ إلا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali bila yang meninggal itu adalah suaminya maka ia berihdad selama 4 bulan 10 hari.” (HR. Muslim no. 1486)
Seorang wanita bisa menjadi sakan bagi rumahnya bila ia menegakkan beberapa hal berikut ini:
1. Taat secara sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah
Taat ini merupakan asas ketenangan karena suami sebagai qawwam (pemimpin) tidak akan bisa melaksanakan kepemimpinannya tanpa ketaatan. Dan ketaatan kepada suami ini lebih didahulukan daripada melakukan ibadah-ibadah sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يِحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَْنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman, demikian diterangkan dengan jelas oleh orang-orang dalam madzhab kami.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115). Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/356).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga memberikan alasan dalam hal ini: “Sebabnya adalah suami memiliki hak untuk istimta’ (bermesraan) dengan si istri sepanjang hari, haknya dalam hal ini wajib untuk segera ditunaikan sehingga jangan sampai hak ini luput ditunaikan karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/356)
“Wajib bagi wanita/ istri untuk taat kepada suaminya dalam perkara yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita, sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”
dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan bagi kaum lelaki kedudukannya satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan bila ia mentaati suaminya atau mendurhakainya, demikian dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 175-176.
2. Mengerjakan pekerjaan rumah yang dibutuhkan dalam kehidupan keluarga seperti memasak, menjaga kebersihan, mencuci dan semisalnya.
Seorang wanita semestinya melakukan tugas-tugas di atas dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah. Telah lewat teladan dari para sahabat dalam masalah ini. Mungkin kita masih ingat bagaimana kisah Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggiling gandum sendiri untuk membuat kue hingga membekaskan kapalan pada kedua tangannya. Ketika akhirnya ia meminta pembantu kepada ayahnya untuk meringankan pekerjaannya maka sang ayah yang mulia memberikan yang lebih baik bagi putri terkasih.
أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرِ مِمَّا سَأَلْتُمَانِي؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا فَكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلاثِيْنَ, وَاحْمَدَا ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ, وَسَبِّحَا ثَلاثًا وَثلاثِيْنَ, فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمَا مِمَّا سَأَلْتُمَاهُ
“Maukah aku tunjukkan yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian, bertakbirlah 34 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. Maka yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” (HR. Al-Bukhari no. 3113 dan Muslim no. 2727)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengingkari khidmat yang dilakukan putrinya dengan penuh kepayahan, padahal putrinya adalah wanita yang utama dan mulia. Bahkan beliau mengakui khidmat tersebut dan memberi hiburan kepada putrinya dengan perkara ibadah yang lebih baik daripada seorang pembantu.
3. Menjaga rahasia suami dan kehormatannya sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
4. Menjaga harta suami.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ نِسَاءِ رَكِبْنَ اْلإِبِل صَالِحُ نِسَاءِ فُرَيْشٍ: أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صَغِيْرِهِ, وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527).
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: adalah wanita itu sangat menjaga dan memelihara harta suami dengan berbuat amanah dan tidak boros dalam membelanjakannya. (Fathul Bari, 9/152)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang ibu), tarbiyah yang baik, mengurusi anak-anak, menjaga harta suami, mengurusi dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152)
5. Bergaul dengan suami dengan cara yang baik.
Dengan memaafkan kesalahan suami bila ia bersalah, membuatnya ridha ketika ia marah, menunjukkan rasa cinta kepadanya dan penghargaan, mengucapkan kata-kata yang baik dan wajah yang selalu penuh senyuman. Juga memperhatikan makanan, minuman dan pakaian suami.
6. Mengatur waktu sehingga semua pekerjaan tertunaikan pada waktunya, menjaga kebersihan dan keteraturan rumah sehingga selalu tampak rapi hingga menyenangkan pandangan suami dan membuat anak-anak pun betah.
7. Jujur terhadap suami dalam segala sesuatu, khususnya ketika ada sesuatu yang terjadi sementara suami berada di luar rumah. Jauhi sifat dusta karena hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami.
Ketiga: mendidik anak-anak (tarbiyatul aulad)
Tugas ini termasuk tugas terpenting seorang wanita di dalam rumahnya, karena dengan memperhatikan pendidikan anak-anaknya berarti ia mempersiapkan sebuah generasi yang baik dan diridhai oleh Rabbul Alamin. Dan tanggung jawab ini ia tunaikan bersama-sama dengan suaminya karena setiap mereka adalah mas’ul yang akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adhaah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Keempat: mengerjakan pekerjaan lain di dalam rumah bila ada kelapangan waktu dan kesempatan, seperti menjahit pakaian untuk keluarga dan selainnya. Dengan cara ini ia bisa berhemat untuk keluarganya di samping membantu suami menambah penghasilan keluarga.
Apa yang disebutkan di atas dari tugas seorang wanita merupakan tugas yang berat namun akan bisa ditunaikan dengan baik oleh seorang wanita yang shalihah yang membekali dirinya dengan ilmu agama, ditambah bekal pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung tugasnya di dalam rumah. Adapun bila wanita itu tidak shalihah, jahil lagi bodoh maka di tangannya akan tersia-siakan tugas yang mulia tersebut.
Wallahu ta’ala a’lam.


Adapun penyebutan bahwa nama ayah kedua wanita tersebut adalah Nabi Syu’aib, hal ini tidak tsabit (tidak benar). Hal ini diterangkan oleh Ibnu Katisr dalam Tafsir-nya (3/467), menukil perkataan Ibnu Jarir: “Yang benar bahwa hal seperti ini tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya kabar/ atsar, dan tidak ada atsar (berita) yang dapat menjadi pegangan dalam hal ini.” (ed)
2 Yaitu wanita harus tinggal dalam rumahnya dan melakukan pekerjaan di dalam rumah.(Yayasan Harum)

10 Karakter atau Ciri Khas Pribadi Muslim Sejati.

Al-Qur’an dan Hadits adalah dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang sangat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim.
Pribadi muslim yang dikehendaki Al-Qur’an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari ALLAH SWT.
Persepsi atau gambaran masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah-nya saja.
Padahal, itu hanyalah salah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada ALLAH SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuanNya.
Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada ALLAH.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi ALLAH tuhan semesta alam” (QS. Al-An’aam [6]:162).
Karena aqidah yang bersih merupakan sesuatu yang amat penting, maka pada masa awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda:
“Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”.
Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh) 
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada ALLAH SWT maupun dengan makhluk-makhlukNya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat.
Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh ALLAH SWT di dalam Al Qur’an. ALLAH berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS. Al-Qalam [68]:4).
4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan ALLAH dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah. (HR. Muslim)
5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir) 
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah [2]: 219)
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
ALLAH SWT berfirman yang artinya:
Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”‘, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar [39]: 9)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan.
Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)” (HR. Hakim)
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari ALLAH dan Rasul-Nya. ALLAH SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajriwad dhuhawal asriwallaili dan seterusnya.
ALLAH SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum matisehat sebelum datang sakit,muda sebelum tuasenggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga ALLAH menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat, berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri) 
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi.
Karena, pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari ALLAH SWT. Rezeki yang telah ALLAH sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau keterampilan.

10. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)

Nafi’un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Qudhy dari Jabir)
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadits. Sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing. Wallahu’alam

Yayasan Harum 

Nur Allah


PENGENALAN NUR (CAHAYA)
Nur atau cahaya itu ialah sesuatu yang menyebabkan kita nampak dengan jelas
akan sesuatu. Baik dengan mata kepala (Nazariah) kita atau mata hati
(Basariah). Ia adalah perlu untuk kehidupan manusia terutama dalam
kehidupan yang berhubung dengan agama dan penerimaan petunjuk daripada
Allah s.w.t.

Hakikat Nur

Nur bermaksud cahaya, lawannya gelap. Selain itu nur juga bererti petunjuk
atau hidayah. Allah s.w.t berfirman di dalam Al-Quran.
Di dalam Al-Quran, terdapat 43 perkataan An-Nur yang membawa pelbagai
makna. Antaranya :

1 Petunjuk dan Keimanan

Allah Pelindung bagi orang-orang yang beriman. Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang
orang yang kafir, pelindung mereka adalah Thagut (syaitan) ,
mengeluarkan mereka daripada Nur petunjuk dan iman kepada
kegelapan iaitu kekufuran.1

2 Waktu Siang

Maha suci Allah yang menjadikan langit dan bumi dan telah menjadikan
kegelapan dan cahaya.2

2 Nabi Muhammad saw

Telah datang kepada kamu nur iaitu Nabi Muhammad dan kitab
yang nyata.3

3 Taurat dan Injil

Dan kami datangkan Injil didalamnya ada petunjuk dan Nur.4
Dan kami datangkan kepadanya taurat di dalamnya ada petunjuk
dan Nur.5

PEMBAHASAN AYAT 35 DARI SURAH AN-NUR

Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan
cahayaNya adalah seperti sebuah lubang besar yang tidak tembus,
yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu
seakan-akan bintang yang begemerlapan yang dinyalakan dari
pohon yang banyak berkahnya, iaitu pohon zaitun yang tidak
tumbuh di sebelah Timur dan tidak pula tumbuh di sebelah Barat.
Yang minyaknya sahaja hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak di sentuh api. Cahaya di atas cahaya berlapisan, Allah
membimbing kepada cahayaNya siapa yang dikehendaki dan Allah
membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.6

Terjemahan Ayat Dalam Bahasa Inggeris
Allah is the Light of the heavens and the earth. The parable
of His Light is as (if there were) a niche within it a lamp :
the lamp is in the glass, the glass as it were a brilliant star,
lit from a blessed tree, an olive, neither of the east nor of the
west, whose oil would almost glow forth (of itself) through
no fire touched it. Light upon Light! Allah guides to His
Light whom He wills. And Allah sets forth parables for
mankind, and Allah is Knower of everything.
Pendapat Ulama Tafsir Berkenaan Perumpamaan Pada Ayat 35 Surah An-Nur Kenyataan Pada Ayat

1. Allah, Dialah cahaya langit dan bumi
2. Bandingan nurNya adalah seperti sebuah "Misykaat"
3. Allah memimpin sesiapa yang dikehendakiNya kepada nurNya itu
4. Allah mengemukakan berbagai-bagai perumpamaan untuk umat manusia
5. Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu

Perumpamaan Pada Ayat

1. NurNya adalah seperti sebuah Misykat
2. Misykat yang berisi sebuah lampu (Misbah)
3. Lampu itu di dalam kaca (Zujajah)
4. Kaca itu pula jernih terang laksana bintang yang bersinar cemerlang
(Kaukabun Durriyun)
5. Lampu itu dinyalakan dengan minyak dari pokok yang banyak
manfaatnya (Syajarah Mubarakah)
6. Iaitu pokok zaitun yang bukan sahaja disinari matahari semasa naiknya
dan bukan sahaja semasa turunnya (La Syarqiyyah Wa La Gharbiyyah)

7. Hampir-hampir minyaknya itu dengan sendirinya memancarkan cahaya
walaupun ia tidak disentuh api (Yakaadu zaituha yudhi- u walau lam
tamsashu naar)
8. Cahaya berlapis cahaya (Nur ‘ala Nur)

Tafsiran Ayat

Allah yang empunya cahaya dan dengan cahaya itu penduduk yang ada di
langit dan di bumi ini dipimpinNya dan ditunjukiNya dengan bukti-bukti
wujud alam semesta dan bukti pengajaran yang dibawa oleh para utusanNya .
Maka dengan cahayaNya itulah manusia akan terpimpin ke jalan yang hak dan
terhindar dari kesesatan.
Perumpamaan bukti yang dipancarkan keseluruh alam ini ibarat cahaya dari
sebuah lampu pelita yang terletak di dalam sebuah lubang dinding, atau
pembuluh seperti lampu suluh.
Dan pelita atau lampu itu sifatnya seperti berikut :
Pelita yang bercahaya itu berada di dalam sebuah kaca atau gelas yang terang
dan bersinar.
Kaca yang menutupi pelita itu seolah-olahnya seperti sebuah bintang yang amat
besar daripada jenis bintang-bintang di langit seperti bintang timur (zuhrah)
ataupun bintang musytari.
Pelita itu menyala dengan perantaraan minyak zaitun yang membasahi
sumbunya, dari sebatang pohon yang menghasilkan buah zaitun, dan pohon itu
dinamakan Syajarah Al-Mubarakah (pohon yang berkat) kerana buah zaitun
itu minyaknya mempunyai kegunaan atau faedah yang sangat banyak. Pohon
zaitun itu pula tumbuhnya di lereng-lereng gunung atau di padang-padang
pasir yang luas, terdedah di bawah sinaran matahari, tidak terlindung oleh
sesuatu apa pun selama terbit matahari itu hingga terbenam. Dan minyak zaitun
itu pula sangat jernih.
Lafaz La Syarqiyyah Wala Gharbiyyah (tidak di timur dan di barat)
maksudnya, pohon zaitun itu kebanyakannya tumbuh di negeri-negeri daerah
timur tengah seperti Syam (sekarang Syria) dan dia bukanlah negeri timur atau
negeri barat.
Oleh kerana minyak zaitun itu terlalu jernih, kelihatanlah dari jauh seolah-olah
dia yang menyinarkan cahaya, dan kalau disentuh oleh api, maka akan
bertambah-tambah lagi terang cahayanya. Maka inilah yang dinyatakan oleh
Allah swt dengan firmannya Nur ‘Ala Nur (Cahaya Atas Cahaya).

Dimaksudkan di sini Cahaya Allah itu diumpamakan sebagai petunjuk daripada
Al-Quran, dan ia adalah seperti pelita yang terang benderang menerangi umat
manusia yang hidupnya di dalam gelap gelita, yakni kejahilan. Cahaya Al-Quran
itulah laksana cahaya lampu, dan lampu itu berada di dalam sebuah kaca atau
gelas yang sangat jernih, sedang cahayanya pula seperti cahaya bintang yang
berkilau-kilauan di atas langit. Lampu itu dinyalakan oleh minyak zaitun, yang
tumbuh pohonnya kebanyakan di negeri yang bukan barat dan bukan timur.
Sedang minyaknya sangat jernih pula, sehingga kerana kejernihannya seolaholahnya
bercahaya dengan sendiri maskipun ia tidak disentuh oleh api – ibarat
lampu elektrik zaman ini.
Wujudnya tenaga elektrik itu tidaklah ditentukan datangnya dari barat ataupun
dari timur. Maka dari elektrik, lampu nyala dengan sendirinya tanpa
menggunakan api. Begitulah dibaratkan hati seorang manusia mukmin itu dapat
menerima petunjuk sebelum di didatangi ilmu pengetahuan. Apabila dia
didatangi ilmu pengetahuan, semakain mendapat petunjuk pula dan inilah yang
diakatakan Cahaya Atas Cahaya.
Bahagian-bahagian pelita itu antara satu sama lain mempunyai hubungan yang
erat dapat mengeluarkan cahaya yang kuat seperti lampu suluh yang terdiri
daripada bahagian-bahagiannya iaitu :
1. Lubang (Misykah) tempat dipasangkan lampu
2. Lampu (Misbah) iaitu balbnya yang akan menyala
3. Kaca atau gelas (Zujajah) yang bersinar-sinar menudungi lampu tersebut
4. Minyaknya (Zaitunah) atau kuasa elektrik yang menerbitkan cahaya,
sehingga lampu suluh itu menyala.
Maka keempat-empat bahagian itu kalau sudah bersatu dan menjadi lampu
suluh , kuatlah pancaran lampu tersebut. Sudah tentu lampu itu kalau tidak
dilekatkan di sebuah lubang bahkan diletakkan di tempat yang terbuka, nescaya
lampu itu tidak dapat memberi cahaya yang kuat sebagaimana kalau lampu
yang berada di lubang seperti lampu suluh. Lampu yang berada di dalam
lubang (Misykah) itu ibarat menyuluh filem yang ditayangkan di sebuah layar
dan kelihatanlah di situ cahayanya yang terang dapat disaksikan oleh orang
yang sedang berada dalam kegelapan.
Maka orang yang hidup dalam kegelapan itu dapatlah berubah menjadi terang,
yakni berilmu pengetahuan.
Allah swt memberikan taufik dan petunjukNya kepada orang-orang yang
disukaiNya daripada hamba-hambaNya untuk mendapatkan perkara-perkara
yang hak dengan jalan memperhatikan sesuatu perkara itu dan memikirkannya,

sehingga sampailah kepada matlamat yang ditujunya. Dan barangsiapa yang
tidak mengambil pengajaran atau iktibar, samalah seperti orang yang buta. Dia
tidak akan dapat berjalan dengan betul di tengah terang apatah lagi di malam
yang gelap. Berkata Sayyidina Ali ra : Allah sebagai cahaya yang menerangi
langit dan bumi. Dan di sana disebarkanNya kebenaran dan dipancarkan
sinaran cahayaNya.
Allah swt membawakan banyak perumpamaan dalam Al-Quran, untuk menjadi
pengajaran dan pimpinan kepada manusia, agar mereka terima dengan perasaan
puas dan senang hati.
Allah swt lebih mengetahui untuk mengurniakan petunjukNya kepada sesiapa
yang layak menerimanya disebabkan mempunyai jiwa yang bersih, dan ada
persediaannya untuk mempelajari hukum-hukum agama serta adab-adabnya
yang baik.
Ayat ini mengandungi kegembiraan bagi orang-orang yang mahu mengambil
teladan, dan mengandungi ancaman bagi yang tidak mahu memikir dan
memperhatikannya.
Berkata Ibnu Abbas : Inilah perumpamaan cahaya Allah dan dipertunjukkanNya
dalam hati orang-orang mukmin laksana minyak yang jernih, hampir sahaja dia
memberi penerangan sebelum lagi di disentuh oleh api. Sekiranya sudah
disentuh api, maka akan bertambahlah sinaran cahayanya. Begitulah hati orangorang
yang beriman.

Tafsiran Ayat Dari Tafsir As-Silmi (Haqaiq At-Tafsir)
(Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi)

Berkata Ibn Athaillah : Sesungguhnya Allah swt menerangi langit dengan 12
kukusan bintang iaitu kambing biri-biri, lembu, bintang kembar dua, bintang
ketam, bintang singa, bintang gadis, bintang neraca, bintang kala, bintang panah,
bintang kambing, bintang timba, dan bintang ikan.
Begitu juga Allah swt menghiasi hati orang-orang yang mengetahui (Al-Arifin)
dengan 12 perkara iaitu : minda, perhatian, kelapangan, makrifat, keyakinan,
kefahaman, pandangan, pemberian hati, pengharapan, keaiban dan kecintaan.
Sekiranya sifat-sifat yang tersebut di atas diterapkan dalam jiwa seseorang
muslim dan orang-orang yang mengetahui (Al-Arifin), maka ia akan
memperolehi kemanisan ibadah dan berada di bawah cahaya Allah swt.

Al-Misykah dimaksudkan dengan rongga Nabi Muhammad saw. Az-Zujajah :
hatinya, Al-Misbah : cahaya yang dijadikan Allah swt dalam hatinya. As-
Syajarah : Nabi Ibrahim as. Yakni cahaya yang dijadikan Allah wt dalam hatinya
sebagaimana yang dijadikan kepada Nabi Muhammad saw.
Berkata Ibn Mas’ud: Perumpamaan cahaya seorang mukmin adalah seperti
Misykah. Al-Misykah dimaksudkan dada seorang mukmin. Al-Misbah ialah
cahaya hati seorang mukmin. Az-Zujajah ialah rahsia seorang mukmin.
Al-Wasithi berkata bahawa sesungguhnya menciptakan jiwa yang beriman dan
menamakannya Syajarah Mubarakah (Pokok yang diberkati).
Sahl berpendapat bahawa Nur bermaksud Nur Nabi Muhammad saw. Sufyan
Ath-Thauri berkata Nur itu ialah cahaya Al-Quran. Hassan Al-Basri
berpendapat pula Nur iaitu ialah hati seorang mukmin dan cahaya tauhid. Ini
disebabkan hati para nabi itu lebih bercahaya dari cahaya yang disifatkan ini.
Imam Al-Junied berpendapat ayat (Allah pemberi cahaya kepada langit dan
bumi) bermaksud Allah swt yang menerangi hati para malaikat sehingga mereka
bertasbih dan menyucikanNya. Dan juga menerangi hati-hati para rasul dan juga
orang-orang yang beriman hingga mereka mengenali Allah swt dengan sebenarbenar
pengenalan dan menyembahNya dengan sebenar-benar penyembahan.
Allah swt mengatakan kepada orang-orang yang beriman : Sesungguhnya Aku
menerangi hati-hati kamu dengan petunjuk dan makrifat.
Sebahagian ulama mengatakan sesungguhnya Allah swt menerangi hati dengan
cahaya keimanan. Dan hati itu ibarat Misykat (lubang) dan perkara-perkara
yang mengotori jiwa itu ibarat Zujajah (kaca) yang tidak akan dimasuki
kejahilan dan kesesatan di hati orang-orang yang beriman.
Abu Ali Al-Jurjani pula mengatakan bahawa Allah swt menerangi hati para
mukmin dengan cahaya keterangan. Allah swt adalah pemberi cahaya kepada
langit dan cahaya itu ibarat keyakinan yang bersinar di hati seorang mukmin.
Hati seorang mukmin itu penuh dengan cahaya keimanan, maka cahaya Allah
itu dipancarkan dengan penjelasan yang nyata.
Maka seseorang yang beriman itu akan melihat sekelian alam ini dengan cahaya
tuhanNya. Maka dengan cahaya itu, ia melihat segala keindahan ciptaan
tuhanNya. Ia akan melihat kekuasan Allah swt dan segala kerajaanNya dengan
cahaya makrifat. Lalu, Allah swt pula akan membuka baginya cahaya ilmu yang
berada di langit yang tujuh dan bumi.

Imam Jaafar Bin Muhammad berpendapat bahawa cahaya itu terbahagi kepada
beberapa bahagian. Antara lain cahaya penjagaan hati, cahaya ketakutan, cahaya
pengharapan, cahaya kecintaan, cahaya tafakkur, cahaya keyakinan, cahaya
peringatan, cahaya ilmu, cahaya perasaan malu, cahaya kemanisan iman, cahaya
Islam, cahaya Ihsan, cahaya kenikmatan, cahaya pemberian, cahaya nikmat,
cahaya kemurahan hati, cahaya kelembutan, cahaya ketenangan, cahaya
kemuliaan, cahaya kekuasaan, cahaya keadilan, cahaya kehaibahan, cahaya yang
kekal, cahaya tersendiri, cahaya kesempurnaan dan cahaya azali.
Kesemua cahaya-cahaya ini mempunyai keadaan dan tempatnya masingmasing.
Kesemua cahaya ini juga merupakan cahaya Allah swt yang terdapat
pada ayat (Allah Pemberi cahaya bagi langit dan bumi).
(Allah Cahaya Bagi Langit dan bumi) bererti bagi setiap hamba itu cahaya dari
cahaya-cahaya yang disebut di atas. Nasibnya bertambah baik jika ia
memperolehi dua daripadanya atau tiga. Orang yang mendapat kesemua
cahaya-cahaya ini ialah Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya baginda bersama
Allah swt dengan hakikat pengabdian yang sebenarnya.
Sebahagian ulama berpendapat bahawa cahaya langit itu adalah para malaikat,
manakala cahaya bumi pula adalah para wali-wali Allah. Ada juga yang
mengatakan bahawa cahaya di langit adalah menzahirkan haibah dan di bumi
pula adalah menzahirkan kekuatan / kemampuan.
Sebahagian para ulama lain pula berpendapat bahawa perumpamaan cahaya
Allah itu di hati orang beriman yang ikhlas.
Imam Hussain berkata bahawa cahaya wahyu terdapat di atas kepala , cahaya
munajat terdapat di antara dua mata, cahaya keyakinan di telinga, cahaya
keterangan di lidah, cahaya keimanan di hati dan cahaya tasbih di anggotaanggota
yang lain.
Imam Al-Jurjani berkata bahawa sekelian langit dan bumi itu diterangi dengan
cahaya Allah swt dan keterangannya. KeteranganNya itu ialah cahaya keyakinan
yang bersinar dalam hati seorang yang beriman.
Sebahagian ulama pula mengatakan bahawa orang yang beriman memiliki lapan
cahaya iaitu cahaya ruh, cahaya rahsia, cahaya atas cahaya iaitu cahaya petunjuk
cahaya ilmu, cahaya taufiq, cahaya pemeliharaan, cahaya sumpah dan cahaya
kehidupan.
Ayat (Cahaya Allah itu ibarat Misykat) bermaksud cahaya Allah swt di hati
orang yang beriman dan ikhlas seperti Misykat (lubang) iaitu lubuk hatinya.
Dan Misbah (lampu) itu cahaya yang dipancarkan dalam hatinya. Zujajah (kaca)

itu ibarat Taufiq dan Taufiq itu diperolehi dengan makrifat yang sebenarnya.
Kaca itu ibarat bintang yang begemerlapan seperti cahaya. Makrifat itu bersinar
dalam hati orang-orang Arif dengan cahaya Taufiq. Cahaya makrifat itu juga
bersinar di hati orang yang beriman dari sebatang pokok yang diberkati dan
menyinari seseorang yang diberkati pula sehingga jelas nampak cahaya batin
dalam perilakunya yang suci.
Ayat (Hampir-hampir minyaknya itu menerangi walupun tidak disentuh
cahaya) bererti hampir-hampir cahaya itu menerangi dari hati orang yang
beriman kepda lidahnya sekiranya ia berzikir kepada Allah swt.
Imam Jaafar Bin Muhammad As-Saadiq berpendapat sesungguhnya Allah swt
menerangi langit dengan cahaya bintang-bintang, matahari dan bulan. Dan
menerangi bumi dengan cahaya tumbuh-tumbhan yang merah, kuning, putih
dan sebagainya. Dan menerangi hati orang-orang mukmin dengan cahaya
keimanan, keislaman, dan menerangi jalan kepada Allah swt dengan cahaya
Abu Bakar, Umar, Uthman dan Ali. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Para sahabatku adalah ibarat bintang-bintang di langit. Maka
apabila kamu mencontohi mereka, maka kamu akan mendapat
petunjuk”
Ibn Athaillah berpendapat bahawa lafaz La Syarqiyyah Wal Gharbiyyah (tidak
di timur dan tidak dibarat) bermaksud tidak dekat dan tidak jauh. Yakni Allah
swt dari dekat dirasakan jauh, dan sebaliknya dari jauh dirasakan dekat. Imam
Jaafar pula berpendapat maksudnya tiada perasaan takut dan tiada pula
perasaan pengharapan. Al-Wasithi pula berkata tiada di dunia dan tiada pula di
akhirat.
Imam Al-Jurjani pada mentafsirkan ayat Nur ‘Ala Nur Nur (cahaya atas cahaya),
beliau mengatakan bahawa Ar-Raja’ (pengharapan) itu ibarat cahaya dan Al-
Khauf (ketakutan) itu juga ibarat cahaya. Mahabbah (cinta) itu juga ibarat
cahaya. Apabila kesemua sifat-sifat ini bersatu dalam hati orang yang beriman,
maka berlaku di sana cahaya atas cahaya. Allah swt akan memberi petunjuk
dengan cahayaNya kepada sesiapa sahaja yang Dia kehendaki dan yang telah
berjaya mencapai cahaya-cahaya ini dari cahaya Allah swt di Azali. Cahayacahaya
ini hanya boleh diperolehi dengan melaksanakan suruhan Allah swt,
meninggalkan segala laranganNya, dengan membuat kebajikan dan ibadaibadah
yang sunnah hingga jadilah seseorang itu dipenuhi cahaya dari sisi Allah
swt.

PEMBAHASAN NUR (CAHAYA) OLEH IMAM HUJJATUL ISLAM
AL-GHAZZALI (SEBAHAGIAN TERJEMAHAN DARI KITAB MISYKATUL ANWAR)

Pembahasan tentang cahaya ini rasanya tidak akan memadai tanpa kita merujuk
kepada apa yang telah diterangkan oleh Imam Al-Ghazzali dalam kitabnya
Misykatul Anwar. Imam Al-Ghazzali adalah seorang pemikir Islam dan juga
pemikir yang banyak memikirkan tentang maslahat umat manusia secara zahir
dan bathin.
Kitab Misykatul Anwar adalah contoh yang menunjukkan perjalanan hidup
Imam Al-Ghazzali dalam mencari hakikat dan tujuan kehidupan yang
sebenarnya.
Antara lain yang dijelaskan dalam kitab beliau ialah :
􀁸Penjelasan tentang rahsia-rahsia cahaya Ilahi ( Bab ini diterangkan setelah
beliau mencapai tahap pemikiran yang tertentu dan ingin
memastikannya)
􀁸Menjelaskan tentang rahsia-rahsia cahaya tersebut dengan kaitan ayat
Nur dan hadis Hijab dan membahagikan pembahasan ini dalam tiga bab
utama.
􀁸Dalam bab pertama, beliau menerangkan makna cahaya, antara lain
menjelaskan hakikat cahaya yang sebenarnya iaitu Allah swt dan cahaya
itu bukanlah cahaya yang ditakrifkan dan difahami oleh manusia dan
dapat diertikan oleh akal pemikiran manusia yang terbatas.
􀁸Dalam bab kedua, beliau menjelaskan pula rahsia-rahsia perumpamaan
ayat7 Allah swt tentang cahayaNya iaitu perhatian kepada pengertian
kalimat Misykat, Misbah, Zujajah, Syajarah, Zait dan Naar. Kemudian
menjelaskan tentang tingkatan ruh-ruh manusia dan penerangannya.
􀁸Dalam bab ketiga, Imam Al-Ghazzali, menjelaskan pula tentang hadis
Hijab dengan tumpuan kepada maksud hijab dan pembahagiannya.

BAHAGIAN PERTAMA

Ayat Tentang Cahaya

"Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahayaNya itu laksana
sebuah Misykaat; di dalamnya ada lampu. Lampu itu di dalam sebuah
kaca. Kaca itu laksana bintang yang gemerlapan. Dipasang dari sebatang
kayu yang beroleh berkat, iaitu (minyak) pohon zaitun, tidak timur, dan
tidak barat. Hampir sahaja minyak itu bernyala-nyala walaupun ia belum
disentuh oleh api. Cahaya Atas Cahaya".8

Ayat Tentang Kegelapan

"Tetapi bagi orang-orang kafir, perbuatan mereka itu adalah ibarat kegelapan yang
bertimbun-timbun di laut yang sangat dalam yang berombak dan dilapisi lagi dengan
ombak di atas awan gelap, Gelap di atas Gelap, sehingga jika seseorang menghulurkan
tangannya, tidaklah kelihatan tangan itu. Sesungguhnya barangsiapa yang Allah tidak
beri cahaya, maka tidaklah ada cahaya baginya". 9

Hadis Tentang Cahaya Allah

"Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab (tabir) cahaya dan
gelap. Sekiranya Ia membuka hijab itu, maka keagunganNya pasti
akan menghancurkan sesiapa yang mengenalinya dengan
pandangan".10

Hakikat Cahaya

Cahaya hakiki yang sebenarnya ialah Allah swt. Penggunaan kalimat cahaya
selain daripada Allah adalah perumpamaan sahaja dan tidak membawa maksud
yang sebenarnya.
Penggunaan kalimat cahaya digunakan pada 3 pengertian :
􀁸Pengertian pada orang awam
􀁸Pengertian pada orang khusus
􀁸Pengertian pada orang yang lebih khusus

Pengertian pada orang awam

Cahaya bererti sesuatu yang zahir dan kelihatan. Yang dimaksudkan di sini ialah
sesuatu itu kelihatan kepada sesuatu yang lain daripadanya, atau tidak kelihatan
(tersembunyi) daripada sesuatu yang lain daripadanya. Maka sesuatu dapat
dilihat ialah kerana wujudnya penglihatan. Sesuatu benda dari segi penglihatan
itu terbahagi kepada tiga :
1. Sesuatu yang dengan sendirinya tidak boleh kelihatan seperti sesuatu
yang gelap.

2. Sesuatu yang dengan sendirinya boleh kelihatan, tetapi tidak boleh
membuat benda lain kelihatan seperti bintang-bintang dan api yang
belum menyala.
3. Sesuatu yang dengan sendirinya boleh kelihatan dan juga boleh membuat
benda lain kelihatan seperti bulan, matahari, lampu dan api yang
menyala.
Kesimpulannya, cahaya pada pengertian umum ialah kalimat yang digunakan
untuk sesuatu yang dengan sendirinya boleh kelihatan dan boleh membuat
benda yang lain kelihatan.

Pengertian pada orang khusus

Hakikat cahaya ialah sesuatu yang kelihatan dan menyebabkan sesuatu yang
lain itu kelihatan.
Cahaya yang zahir ini menyerupai ruh yang disifatkan sebagai satu penglihatan
juga. Ruh itu memainkan peranan penting dalam penglihatan, bahkan ia lebih
penting kerana ruh orang yang melihat itulah yang mengerti sesuatu. Melalui
ruh, seseorang itu dapat memahami dan mengerti sesuatu yang dilihat.
Sebenarnya, perkataan cahaya itu ialah sesuatu yang melihat. Yang melihat itu
adalah mata. Cahayalah yang membolehkan mata itu melihat. Tanpa cahaya,
mata tidak dapat berfungsi dan tidak dapat menghasilkan penglihatan. Oleh
kerana itu, manusia menggunakan istilah cahaya mata.
Sebagai contoh :
􀁸Orang yang kabur matanya, dikatakan cahaya penglihatannya kabur.
􀁸Orang yang lemah penglihatannya, dikatakan cahaya pandangan
matanya lemah.
􀁸Orang yang buta, dikatakan cahayanya gelap.

Pengertian pada orang yang lebih khusus

Cahaya penglihatan biasa itu ada kekurangan dan kecacatannya. Antara lain
kecacatannya :
􀁸Ia dapat melihat benda lain tetapi tidak melihat dirinya sendiri.
􀁸Ia juga tidak dapat melihat sesuatu yang sangat jauh atau yang sangat
dekat.
􀁸Ia tidak dapat melihat sesuatu yang di belakang dinding.
􀁸Ia melihat yang diluar sahaja dan tidak dapat melihat yang di dalam.
􀁸Ia melihat sebahagaian sahaja bukan keseluruhan.

􀁸Ia melihat perkara yang terbatas atau terhad dan tidak melihat perkara
yang tidak terbatas.
􀁸Dalam melihat itu pula, ia banyak membuat kesalahan, kerana apa yang
sebenarnya besar, pada pandangannya kelihatan kecil, apa yang jauh
kelihatan dekat, apa yang diam kelihatan bergerak, apa yang bergerak
kelihatan diam.
Sesungguhnya pada hati manusia itu ada mata yang bebas dari segala
kekurangan yang ada pada mata biasa yang ada pada manusia iaitu Aqal, Ruh
dan Jiwa.
Dari penjelasan di atas berkenaan cahaya, maka disini wajarlah Aqal itu digelar
cahaya dan bukannya mata. Memang benar dikatakan bahawa antara keduanya
itu ada perbezaan yang besar nilainya, sehingga kita boleh mengatakan bahawa
AQAL itulah yang sebenarnya dipanggil CAHAYA.

Kaitan cahaya dengan Allah swt

Maksud ‘Allah itu cahaya langit dan bumi”
Kiasannya, cahaya itu membolehkan kita melihat warna. Contohnya, pada siang
hari apabila kita melihat tumbuh-tumbuhan, maka kita akan mengatakan
bahawa kita tidak melihat sesuatu yang lain kecuali warna hijau. Mungkin di
sini diperbahaskan oleh sebahagian orang bahawa cahaya itu tidak wujud, yang
kelihatan hanya warna hijau sahaja.
Dengan demikian, mereka menafikan wujudnya cahaya meskipun cahaya itulah
yang paling terang dan menyebabkan warna itu kelihatan. Dengan adanya
cahayalah, maka benda-benda itu kelihatan kerana cahaya itu boleh kelihatan
dan membuat benda-benda yang lain kelihatan.
Tetapi apabila datangnya malam, maka barulah mereka sedar bahawa adanya
perbezaan antara bayangan atau gelap dengan cahaya. Maka barulah mereka
meyakini bahawa cahaya itu memang ada disebalik setiap warna dan dilihat
bersama warna.
Maka di sini, boleh dikatakan oleh kerana kesatuan cahaya dengan warna itu,
hinggakan cahaya itu tidak disedari ada di situ, mungkin kerana terlampau
terang sehingga menyebabkan cahaya tidak kelihatan. Ini disebabkan kerana
sesuatu yang melampaui dari sempadan hadnya akan masuk ke wilayah yang
berlawanan dengannya.
Dengan penjelasan ini, dikatakan bahawa kita boleh melihat Allah swt
disamping seuatu benda itu. Umpamanya, ada yang berkata :

‘Tidak saya lihat sesuatu pun melainkan saya lihat Allah swt”11
Al-Quran ada menerangkan :
“Tidakkah cukup bahawa Tuhanmu melihat semuanya”12
Dalam ayat yang lain Allah mengatakan :
“Kami akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami dalam
seluruh alam dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahawa Al-Quran itu adalah benar”13
Dalam bicara melihat Allah ini, harus kita ketahui bahawa ada yang melihat
Allah secara terus menerus iaitu golongan para aulia Allah. Ada pula yang
melihat Allah swt melalui perbuatan-perbuatannya iaitu golongan orang-orang
Arif yang telah yakin dalam ilmunya. Selain dari kedua-dua golongan ini, maka
tidak lain hanya orang-orang yang lalai kerana wujudnya hijab pada diri
mereka.
Sesungguhnya wujudnya cahaya itu membolehkan mata kasar melihat dan
nampak dan Allah swt itu membolehkan mata bathin manusia melihat dan
nampak kerana Allah itu ada bersama segala sesuatu setiap ketika dan Dialah
yang menampakkan segala-galanya. Melihat Allah swt di sini bukan dalam
pengertian berbentuk dan Allah swt itu tidak menyerupai dengan sesuatu. Ini
dijelaskan dalam firmanNya :
“Tidak ada sesuatu yang serupa denganNya dan Dialah yang Maha Mendengar
Lagi Melihat”14


BAHAGIAN KEDUA
PENJELASAN TENTANG PERUMPAMAAN MISYKAT, LAMPU, KACA,
POKOK, MINYAK DAN API PADA AYAT NUR

Dalam penjelasan mengenai perkara ini, harus diketahui dua perkara iaitu :
1. Penerangan tentang rahsia perumpamaan-perumpamaan pada ayat
tersebut dan kaitan ruh dengan perumpamaan tersebut.
2. Peringkat-peringkat ruh.
Rahsia di sebalik perumpamaan
Alam ini terbahagi kepada dua :
1. Alam Ruhani 2. Alam Jasmani
Boleh juga digelar :
1. Alam Kebendaan 2. Alam Aqal
Atau
1. Alam Tinggi 2. Alam Rendah
Alam Ruhani (Alam Tinggi) itu tidak kelihatan oleh kebanyakan orang.
Sebaliknya, Alam Jasmani (Alam Rendah) itu kelihatan oleh semua orang,
kerana ia adalah alam pancaindera atau alam nyata.
Perjalanan menuju ke Alam Ruhani itu akan terhalang jika tidak ada
perhubungan antara kedua alam ini. Jika perjalanan ke alam tersebut itu dapat
dilalui, maka tidak mungkin kita sampai ke Hadirat Ilahi Rabbi.
Alam nyata (Jasmani) ini adalah tempat bertolaknya ke Alam Ruhani (Tinggi).
Firman Allah swt :

“Maka apakah orang yang berjalan tersungkur di atas
mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah
orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?”15
Yang dimaksudkan perjalanan yang lurus pada ayat ini adalah menuju Alam
Ruhani. Ini boleh juga dikatakan keimanan atau tempat mendapat bimbingan
yang sebenarnya. Jika tiada perhubungan antara kedua-dua alam, maka
tidaklah mungkin seseorang itu naik ke alam yang lebih tinggi. Allah swt
memberikan rahmatNya kepada Alam Jasmani seperti juga diberiNya kepada
Alam Rohani.
Dari itu, tidak ada suatu pun di Alam Jasmani ini yang tidak menjadi simbol
atau perumpamaan kepada perkara-perkara di Alam Ruhani.
Sekiranya alam Ruhani mempunyai cahaya yang digelar Malaikat, dan cahaya
itu pula dipancarkan kepada ruh-ruh, maka oleh kerana itu malaikat-malaikat
itu boleh digelarkan tuan, dan tuan bagi segala tuan-tuan itu ialah Allah swt.
Tuan-tuan ini mempunyai peringkat-peringkat sinaran yang berbeza-beza. Maka
simbol semua itu di Alam Jasmani ialah matahari, bulan dan bintang.
Perhatikan kisah Nabi Ibrahim yang sedang perjalanan menuju Allah swt, naik
ke satu peringkat seumpama sebuah bintang. Sinaran cahaya bintang itu
nampak kepadanya. Maka disedarilah bahawa dunia di bawah sana
mengagungkan pengaruh dan sinaran cahaya bintang itu dan seterusnya………
Firman Allah swt menceritakan kisah ini :
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapanya Aazar
Adakah kamu menjadi berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan
yang nyata. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim
tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di langit dan bumi,
dan Kami memperlihatkannya agar Ibrahim itu termasuk orangorang
yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat
sebuah bintang lalu berkata “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam, dia berkata “Saya tidak suka kepada yang
tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata
: “Inilah Tuhanku”. Tetapi bulan itu terbenam, dia berkata :
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku tergolong dari orang-orang yang sesat”. Kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata : “Inilah Tuhanku,
ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia
berkata : “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa
yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah tergolong
dari orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.16
Kalimat “Yang” dalam ayat ini dimaksudkan ialah Allah swt. Ini disebabkan
tidak ada perbandingan dan tidak ada persamaan Ini menunjukkan Allah itu
Maha Agung dan tidak termasuk dalam bidang perbandingan dan persamaan.

PENJELASAN MENGENAI MARTABAT RUH MANUSIA

Pertama : Ruh Hissi (Pancaindera)

Ruh Hissi menerima maklumat yang dibawa oleh pancaindera yang lima iaitu
rasa, bau, dengar, lihat dan sentuh. Ini merupakan asal ruh yang dinamakan
Ar-Ruh Al-Hayawani (yakni sesuatu yang mempunyai hayat). Ruh ini juga
wujud pada bayi yang masih kecil.

Kedua : Ruh Khayali

Ruh ini merakamkan segala yang dibawa oleh pancaindera. Maklumat ini
disimpan dan disediakan untuk dipersembahkan kepada jiwa atau Ruh Akal di
peringkat yang tinggi apabila maklumat itu dikehendaki.
Ruh ini tidak wujud pada seorang bayi. Inilah sebabnya apabila seseorang bayi
itu hendak memegang sesuatu yang dilihatnya, ia akan lupa pada benda itu
apabila ianya hilang daripada pandangannya. Tidak akan timbul kehendak
dalam jiwa atau ruhnya kepada sesuatu yang tidak dilihatnya sehinggalah ia
meningkat umur dewasa. Maka di kala itu, ia mula menangis kerana
menghendaki sesuatu benda yang tersimpan dalam khayalannya. Inilah yang
dinamakan Ruh Khayali.

Ketiga : Ruh Akal

Ruh atau jiwa ini mengetahui perkara-perkara yang di luar sempadan
pancaindera dan khayalan. Kebolehan ini hanya khusus wujud pada manusia
dan tidak ada pada binatang dan anak-anak. Perkara-perkara yang diketahui
oleh ruh ini adalah kebenaran yang digunakan dengan menyeluruh.

Keempat : Ruh Yang Memikir dan

Membuat Kesimpulan

Ruh atau jiwa ini mengambil butir-butir yang dibicarakan oleh akal atau
pendapat dan mengumpul dan menyusunkannya sebagai pokok pemikiran dan
dari situlah diambilnya sesuatu maklumat. Kemudian diambil pula antara dua
kesimpulan dan disertakan lagi dan diambil kesimpulan yang baru dan
begitulah seterusnya tanpa had batasan.

Kelima : Ruh Kenabian Yang Suci

Ruh ini wujud pada para nabi dan aulia Allah. Dengan ruh ini, perkara-perkara
di alam ghaib atau alam ruhani dapat mereka lihat bersama dengan beberapa

pengetahuan langit dan bumi serta ilmu ketuhanan yang tidak dapat dicapai
oleh Ruh Akal dan jiwa yang membuat kesimpulan. Inilah yang dimaksudkan
oleh firman Allah swt :
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ruh (Al-Quran)
dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
apakah Al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu,
tetapi Kami menjadikan Al-Quran itu cahaya, yang Kami
tunjukkan dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”17

Kesimpulan
Maka, dari itu, ketahuilah bahawa tiada peringkat atau martabat yang lebih
tinggi dari peringkat akal yang dapat melihat apa yang terlihat di dalam bidang
akal. Sebagaimana juga akal itu lebih tinggi dari pancaindera yang lain dan ianya
dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh pancaindera.

KEGUNAAN AYAT NUR DAN HADIS HIJAB

Penerangan Tentang Perumpamaan Ayat Nur

Maksud dan pengertian perumpamaan atau simbolik disebalik ayat yang
terdapat pada Surah An-Nur ayat 35.. Penerangannya akan meliputi :
􀁸Pasangan antara lima peringkat ruh dan
􀁸Lima perumpamaan iaitu Misykat (lubang) , Zujajah (kaca) , Misbah
(lampu), Syajarah (pokok) dan Zaitun (minyak).
1 Ruh Hissi
Cahayanya datang melalui bebrapa saluran iaitu mata, telinga, hidung dan lainlain.
Simbol yang paling wajar untuk ini ialah “MISYKAT”(Lubang)
2 Ruh Khayali
Ia mempunyai 3 sifat.
1. Ianya adalah daripada perkara yang terdiri daripada alam rendah yang
kasar ini, kerana sifat-sifatnya mempunyai saiz, bentuk, ukuran yang
tertentu dan terhad. Selanjutnya salah satu sifatnya ialah ia tidak
bercahaya oleh sinaran kepada cahaya akal. Akal akan melampaui arah,
bilangan dan jarak.
2. Jika sesuatu itu terang, jelas dan terkawal, maka ia akan mencapai
persamaan dengan pendapat akal dan akan tertembus oleh cahaya
daripada mereka itu.
3. Khayalan ini pada mulanya sangatlah perlu agar dapat dikawal oleh
pengetahuan akal dan dengan ini pengetahuan tersebut tidaklah
terganggu, terumbang-ambing dan lari dari kawalan.
Banyangan yang dibekalkan oleh khayalan itu menguasai pengetahun yang
dibekal oleh akal. Dalam dunia harian yang nyata ini, kita akan dapati bahawa
benda atau objek yang mempunyai ketiga-tiga sifat ini jika dihubungkan dengan
cahaya biasa ialah “KACA” (Zujajah). Ini disebabkan kaca pada mulanya itu
kotor, tetapi setelah dibersih dan dihalusi hingga menjadi bersinar (tembus oleh
cahaya) maka ia akan tembus kepada cahaya lampu. Kaca ini pula melindungi
lampu itu daripada padam oleh hembusan angin atau goncangan yang kuat.
Maka kaca inilah simbolik yang paling sesuai bagi khayalan.

3 Ruh Aqli

Ini memberi kita kefahaman tentang perkara-perkara ketuhanan. Tentang
perumpamaan ini, telah jelas kepada kita bahawa para nabi itu adalah Misbah
(Lampu yang memberi cahaya).

4 Ruh yang Memikir dan Membuat Kesimpulan

Keadaannya bermula dengan satu pendapat, kemudian bercabang dua, setelah
itu bercabang empat, dan begitulah seterusnya hingga dengan proses
pemecahan secara logik ini, ia menjadi beratus-ratus dan beribu-ribu
banyaknya. Akhirnya membawa kepada satu kesimpulan dan kesimpulankesimpulan
ini pula mengeluarkan lagi banyak kesimpulan, dan begitulah
seterusnya. Oleh yang demikian, ruh ini disimbolkan sebagai

"POKOK" (Syajarah) kerana keadaan ini seumpama pokok di alam nyata ini.
Selanjutnya kita perhatikan bahawa hasil atau buah (jiwa) jenis ini
mengeluarkan banyak ilmu dan menetapkannya. Maka sewajarnyalah ia tidak
disimbolkan dengan pokok epal atau delima atau lain-lain pokok kecuali pokok
zaiton.
Buah zaiton itu ada mengeluarkan minyak yang digunakan untuk minyak
lampu dan minyak ini berbeza dengan lain-lain minyak. Minyak zaiton ini
menambah sinaran lampu. Jika diberi kata sifat adjektif "berkat" kepada pokok
tersebut, maka sudah tentu hasil yang didapati dari pokok itu diberi kata sifat
adjektif berkat juga. Akhirnya jika cabang-cabang atau pendapat akal bersih itu
tidak tertakluk kepada arah dan jarak, maka wajarlah digelar simbol pokok ini
sebagai "tidak timur dan tidak barat". (La Syarqiyyatun Wa La Gharbiyyah)

5 Ruh Kenabian Yang Suci

Ruh atau jiwa yang terang benderang ini ada pada nabi dan wali Allah. Jiwa
fikiran manusia terbahagi kepada dua jenis.
􀁸Satu daripadanya perlu dan wajar dinasihati dan dibekali dari luar untuk
mendapat ilmu terus menerus.
􀁸Yang satu lagi tidak perlu bekalan ilmu dari luar; cukup dari dalam,
seolah-olah bercahaya dengan sendiri.
Kebolehan tabie yang kuat dan terang ini dikatakan sebagai "minyak itu
bernyala-nyala walaupun ia belum disentuh oleh api". (Ya kaadu zaituha
yudhi- u walau lam tamsashu naar)
􀁸Ada wali Allah yang mempunyai cahaya yang sangat terang hingga
"hampir" tidak memerlukan lagi apa yang dibekalkan oleh para nabi.
􀁸Ada pula yang mempunyai cahaya yang "hampir-hampir" tidak
memerlukan lagi apa yang dibekali oleh para malaikat.
Inilah perumpamaan yang sewajarnya bagi perkara ini.
Cahaya ruh manusia itu berperingkat-peringkat.
􀁸Maka peringkat pancaindera itu adalah peringkat awal dan persediaan
untuk khayalan (kerana khayalan boleh dianggap sebagai mengikuti
pancaindera).
􀁸Selepas itu diikuti pula oleh akal.
􀁸Kemudian dituruti pula oleh jiwa yang memikir dan membuat
kesimpulan.
Semua itu menerangkan;
􀁸Kenapa kaca itu dikatakan tempat letak lampu;
􀁸Dan misykat itu tempat letak kaca.
􀁸Ini bererti lampu itu di dalam kaca dan kaca itu dalam misykat (lubang).
􀁸Akhirnya, sebagaimana yang kita lihat adanya cahaya yang berperingkatperingkat
itu mentafsirkan kepada kita ayat yang bermaksud "Cahaya
Atas Cahaya" itu. (Nur ‘ala Nur)
KESIMPULAN AYAT BERKENAAN GELAP
Perumpamaan atas simbolik cahaya hanya untuk hati atau jiwa orang-orang
yang beriman, atau Nabi-nabi dan wali-wali Allah sahaja. Bukan untuk hati
orang-orang ingkar kerana istilah "Cahaya" ini khusus untuk orang-orang yang
dipimpin di jalan yang lurus.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang menyeleweng dari jalan yang benar dan
lurus, maka ia adalah palsu dan gelap. Bahkan lebih gelap daripada yang gelap.
Kegelapan itu tidak membimbing seseorang itu ke mana-mana. Fikiran orangorang
INGKAR itu dan seluruh pandangan mereka adalah sesat dan
menyeleweng dan fikiran mereka itu saling sokong menyokong antara satu
dengan lain untuk menipu dan menyesatkan tuan yang empunya. Mereka itu
ibarat orang yang berada
“Di laut yang sangat dalam yang berombak dan dilapisi
lagi dengan ombak. Di atasnya awan gelap; gelap di atas
gelap".18
"Laut yang sangat dalam" (Bahrun Lujjiyun) itu bermaksud dunia-dunia ini
yang penuh dengan mara bahaya, kejahatan, dosa dan noda.
"Ombak" (Mauj) yang pertama itu ialah ombak hawa nafsu yang dirinya jiwa
itu mendapat sifat-sifat kebinatangan, dan dikuasai oleh keseronokan hawa
nafsu, dan memuaskan cita-cita keduniaan sahaja; lalu

"Mereka makan dan berpoya-poya seperti lembu kerbau.
Nerakalah tempat kediaman mereka". 19
Ombak itu diibaratkan sebagai kegelapan. Oleh itu cinta kepada makhluk
menjadikan jiwa itu buta dan pekak.
"Ombak" (Mauj) yang dilapisan kedua itu bermaksud sifat-sifat ganas yang
mendorong jiwa itu bersikap
􀁸Marah,
􀁸Hasad dengki,
􀁸Benci,
􀁸Menentang diri sendiri,
􀁸Sombong,
􀁸Megah dan
􀁸Bangga.
Maka, tepatlah simbolik gelap ini kerana marah itu adalah iblis akal manusia.
Dan sesuai juga simbolik ombak yang di atas itu kerana marah itu kebanyakan
lebih kuat daripada nafsu syahwat; marah yang mendidih menyelewengkan
jiwa dari nafsu angkara dan membuatnya lalai dengan keseronokan. Hawa
nafsu tidak dapat menentang marah yang bersangatan.
"Awan gelap" (Sahaabun Zulumaatun) itu adalah kepercayaan yang bukanbukan,
bid’ah yang menyesatkan dan pemikiran yang rosak yang menjadi
lapisan-lapisan hijab yang mendinding orang-orang kafir daripada mendapat
iman, ilmu yang hakiki dan sinaran dari cahaya Al-Quran dan akal yang bersih.
Telah menjadi lumrah, awan itu melindungi sinaran cahaya matahari. Oleh
kerana semua perkara tersebut adalah menggelapkan, maka sesuai benarlah
ayat ini "Gelap di atas gelap" (Zulumaatun Ba’dhuha Fauqa Ba’dhin) . Ini
adalah kerana perkara-perkara tersebut menutup jiwa daripada mendapat ilmu
tentang perkara-perkara yang dekat; apatah lagi yang jauh. Ianya mendinding
orang-orang kafir daripada mengetahui apa yang dibawa oleh Nabi, meskipun
mereka sangat hampir dan boleh dipandang. Sesuai benarlah dikatakan
"Jika seseorang menghulurkan tangannya, tidaklah
kelihatan tangan itu"20

Kesimpulannya, semua cahaya-cahaya ini berpunca dan berasal dari Yang Maha
Esa, maka sewajarnyalah tiap-tiap orang yang mengakui dan beriman dengan
kalimah tauhid mempercayai bahawa,
"Sesungguhnya barangsiapa yang Allah tidak berikan
cahaya, maka tidaklah ada cahaya baginya".21

BAHAGIAN KETIGA

PENERANGAN TENTANG PERUMPAMAAN HADIS 70,000 HIJAB

"Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab (tabir) cahaya dan
gelap. Sekiranya Ia membuka hijab itu, maka keagunganNya pasti
akan menghancurkan sesiapa yang mengenalinya dengan
pandangan".22
Sesungguhnya Allah itu tidak tidur dan tidak sepatutnya Ia
tidur. Dialah yang meringan dan memberatkan timbangan.

Dia mengangkatkan kepadaNya amalan pada waktu
malam sebelum amalan siang, dan amalan pada waktu
siang sebelum malam. HijabNya itu cahaya dan sekiranya
Ia membuka hijab itu, maka keagunganNya pasti akan
menghancurkan sesiapa yang mengenaliNya dengan
pandangan daripada sekelian ciptaanNya.23
Ada tiga jenis hijab yang ada pada manusia iaitu :
1. Gelap keseluruhannya
2. Campuran gelap dengan cahaya
3. Cahaya keseluruhannya

1 Gelap Keseluruhannya

Bahagian pertama ialah mereka yang terhijab atau terdinding oleh gelap yang
sebenarnya. Mereka ini ialah orang yang tidak percaya dengan Allah dan hari
kemudian. Inilah orang "yang kasih kepada kehidupan dunia ini lebih daripada
kehidupan akhirat" kerana mereka tidak percaya dengan apa yang akan datang
kemudian.
Mereka ini pula terbahagi kepada beberapa pecahan.
1 Mereka yang hendak mencari sebab terhadap kehidupan di dunia ini dan
mereka jadikan alam nyata ini sebagai sebab. Tetapi alam nyata ini ialah satu
sifat yang ada pada benda-benda. Ianya pula adalah gelap kerana ia;
􀁸Tidak ada ilmu pengetahuan,
􀁸Tidak ada pandangan,
􀁸Tidak ada kesedaran terhadap diri sendiri,
􀁸Tidak ada kesedaran terhadap yang lain,
􀁸Tidak ada cahaya pandangan melalui perantaraan mata.
2 Mereka yang dipengaruhi oleh kepentingan diri sendiri dan tidak mahu
mengetahui tujuan hidup ini. Mereka hidup seperti kehidupan binatang. Hijab
ini ialah diri mereka sendiri (self-centered ego) dan hawa nafsu gelap mereka
itu. Tidak ada gelap yang lebih gelap daripada penghambaan kepada dorongan
diri sendiri dan cinta diri sendiri. Firman Allah :

"Tidakkah engkau perhatikan orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya?" 24
Sabda Nabi Muhammmad saw :
"Mempertuhankan hawa nafsu adalah penyembahan yang
paling dibenci oleh Allah". 25
Bahagian yang kedua ini terbahagi lagi kepada beberapa pecahan iaitu :
1 Manusia yang menganggap dan berkeyakinan bahawa matlamat atau
tujuan akhir hidup di dunia ini ialah untuk memuaskan hawa nafsu
kebinatangan mereka sahaja, sama ada berkenaan dengan jantina, atau
makan-minum atau pun pakaian. Inilah hamba nafsu. Hawa nafsu itulah
Tuhan mereka. Mereka percaya bahawa dengan memuaskan nafsu itu,
mereka akan mendapat kebahagiaan. Inilah manusia yang merendahkan
martabat mereka lebih rendah daripada martabat binatang. Adakah sesuatu
yang lebih gelap daripada ini????. Inilah orang yang dihijab sebenarnya.
2 Manusia yang menganggap matlamat akhir hidup ini ialah menakluk dan
menguasai, seperti membunuh dan merampas. Mereka itu ialah orangorang
yang jahil. Hijab pada mereka ialah sifat-sifat ganas dan garang. Sifatsifat
ini menguasai mereka. Mereka berasa senang hati dengan sifat-sifat
mereka itu. Inilah orang-orang yang bersifat binatang. Mereka merendahkan
martabat kemanusian mereka itu lebih rendah lagi daripada binatang.
3 Manusia ialah yang menganggap matlamat akhir hidup ini ialah
kekayaan harta benda kerana kekayaan ini adalah alat untuk memuaskan
tiap-tiap nafsu syahwat mereka. Mereka menghabiskan masa muda dan
tenaga mereka dengan memperbanyakkan dan mengumpul harta kekayaan
,wang ringgit, emas dan perak, tanah dan rumah yang indah, gedunggedung
besar dan lain-lain lagi. Mereka mengumpul dan menyimpan wang

ringgit sebanyak-banyaknya. Mereka bertungkus lumus siang dan malam di
mana sahaja untuk memperbanyakkan harta dengan sepuas-puasnya. Apa
yang ada itu nampak sedikit dan mereka terus mencari lagi tanpa berhenti
dan berpuas hati. Inilah orang-orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah
saw :
"Orang malang, hamba orang!!!, orang malang, hamba
emas!!".
Adakah gelap yang lebih gelap daripada ini?" Mereka telah dibutakan oleh
emas dan perak. Mereka tidak sedar bahawa emas dan perak itu adalah jenis
logam yang tidak berguna jika semata-mata untuknya sahaja. Logam yang
tidak lebih daripada batu-batu atau logam lainnya. Emas dan perak hanya
bernilai jika ia dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang berfaedah
dan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang berguna.
4 Manusia yang menganggap bahawa kebahagiaan itu ialah dengan
mencapai kemasyhuran diri, mencari "nama" dan memperluaskan pengaruh
sehingga ramai orang yang menjadi pengikutnya serta menyanjungnya.
Mereka sentiasa berlagak dan melihat bayangan dirinya dalam cermin. Ada
yang mencurahkan wang ringgitnya membeli pakaiannya yang indah-indah
sampai baik dipandang orang dan disaksikan kecantikannya itu, meskipun
ia menderita kekurangan dan dapur tidak berasap di rumahnya.
Allah swt berfirman :
“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka
ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan”26

2 Campuran Gelap Dengan Cahaya

Mereka ini terbahagi kepada tiga jenis iaitu;
1. Terhijab Oleh Pancaindera
2. Gelapnya Berpunca Dari Khayalan
3. Gelapnya Berpunca Dari Logik Akal Yang Palsu.

1 Terhijab Oleh Pancaindera

Mereka ini ialah orang-orang yang telah melangkah sempadan
mempertuhankan diri sendiri, yang mana itu adalah sifat orang-orang yang
dalam golongan pertama yang telah tersebut dahulu kerana mereka
mempertuhankan kepada sesuatu yang di luar diri mereka, dan ada sedikit
keinginan untuk mengetahui Tuhan.
􀁸Peringkat pertama terdiri daripada mereka yang menyembah berhala.
􀁸Peringkat akhir terdiri daripada mereka yang menduakan Tuhan.
􀁸Antara kedua-kedua peringkat tersebut, ada peringkat-peringkat lain
lagi.

2 Gelapnya Berpunca Dari Khayalan

Mereka ini melangkah dari sempadan pancaindera kerana mereka sedar adanya
sesuatu di sebalik objek-objek pancaindera. Tetapi golongan ini tidak dapat
melangkah lebih dari sempadan khayalan. Oleh itu, mereka sembah sesuatu
yang benar-benar duduk di atas kursi singgahsana.

3 Gelapnya Berpunca Daripada Logik Akal Yang Palsu

Mereka ini menyembah tuhan "yang mendengar, melihat, dan berilmu,
berkuasa, berkehendak dan hidup", dan melampaui semua arah termasuk arah
ke atas. Tetapi konsep mereka tentang sifat-sifat ini diserupakan dengan sifatsifat
mereka sendiri, hingga ada mereka berpendapat bahawa perkataan
(KALAM) Tuhan itu ialah berhuruf dan berbunyi, seperti manusia juga.
Sementara yang lain pula lebih maju lagi ke depan. Kata mereka; "Sebenarnya
seperti kalam fikiran kita, iaitu tidak berbunyi dan tidak berhuruf". Oleh itu,
apabila mereka dicabar untuk menunjukkan bahawa Allah itu benar-benar
"mendengar, melihat, hidup dan lain-lain", maka penjelasan mereka seolaholah
menyifatkan tuhan itu sebagai manusia, meskipun mereka menafikannya.
Ini adalah kerana mereka tidak dapat memahami apakah sebenarnya maksud
pendapat tentang Sifat Allah itu. Mereka berkata bahawa berkenaan dengan
Iradat atau Kehendak Allah itu, adalah ianya bergantung atau berkaitan,
seperti kehendak atau iradat manusia juga, berkehendak kepada sesuatu dan
bertujuan. Semua pendapat-pendapat ini sudah terkenal dan termasyhur dan
kita tidak perlu bicara tentang perkara ini dengan panjang lebar. Mereka ini
terhijab oleh beberapa cahaya Ketuhanan dan bercampur dengan kegelapan
logik akal palsu. Semua yang tersebut itu adalah golongan bagi bahagian kedua
yang terdiri daripada hijab gelap bercampur cahaya.

Golongan yang terakhir yang disebutkan oleh Imam Ghazali di atas banyak
terdapat dalam masyarakat kita akhir-akhir ini. Walaupun mereka bertuhankan
Allah dan mengakui kerasulan Nabi, namun mereka jahil dengan pendapatpendapat
yang berkaitan sifat-sifat Ketuhanan Yang Maha suci lagi Maha
Sempurna. Biasanya golongan yang tersasar ini adalah dari golongan mereka
yang
􀁸Hanya berpandukan kepada Al-Quran dan Hadis semata-mata dengan
menolak mazhab-mazhab atau pendangan ulama-ulama yang
Muktabar,
􀁸Hanya berpandukan kepada Al-Quran semata-mata,
􀁸Menafikan Kefarduan Mempelajari Ilmu Usuluddin atau Ilmu Tauhid,
􀁸Hanya bertaklid kepada warisan keluarga semata-mata.

PEMBAHAGIAN NUR

Menurut pembahagian, nur itu terbagi kepada dua iaitu:

Nur Hissi (Zahir)

Iaitu cahaya yang kita melihat sesuatu dengan mata kepala kita seperti cahaya
sinaran matahari yang memberi kita cahaya terang diwaktu siang.

Nur Ma’nawi (Bathin)

Iaitu cahaya yang kita melihat dengan mata hati terhadap sesuatu yang ghaib
atau memahami sesuatu hakikat atau pengertian.
Nur Batin ini terbagi pula kepada 8 jenis, iaitu:

Nur Al-Iman


Cahaya keimanan iaitu cahaya sejati yang dapat menembusi segala kegelapan
dimana akan ternyata keagungan dan keesaan Allah s.w.t menyinari hati insan.

Nur Al-Qalb


Cahaya hati iaitu cahaya yang wujud dengan sempurna dengan memperoleh
sinaran cahaya daripada nur Al-Iman.

Nur Ar-Ruh

Cahaya Ruh (jiwa) iaitu cahaya yang diperoleh dengan sebab kepatuhan yang
sungguh-sungguh kepada Allah dan menyucikan peribadi dari perlakuan liar
dan adat resam yang merugikan sehingga ruhnya dapat berhubung dengan alam
malaikat.

Nur An-Nafs

Cahaya peribadi yang wujud dengan sempurna berikutan dengan memperoleh
sinaran dari pada Nur Ar-Ruh.

Nur As-Sirr

Cahaya rahsia yang diperoleh dengan mengenal Allah dengan sebenar-benar
pengenalan yang diikuti dengan hubungan kepada Maha Pencipta tanpa
selainNya sehingga dapat menyaksikan keajaiban kebesaran Ilahi di Alam
Malakut dan Alam Mulk dan Syahada.

Nur Al-Aql

Cahaya akal yang wujud dengan sempurna dengan memperoleh sinaran cahaya
daripada Nur As-Sirr.
Nur Al-Qur’an

Cahaya Qur’an yang merupakan Nur Allah s.w.t. yang berhubung rapat dengan
DzatNya Yang Maha Tinggi. Hakikat Nur ini adalah diserahkan kepada Allah.
Hanya diketahui bahwa nur inilah yang menimbulkan Nur As-Sirr dan nur yang
lain.

Nur Al-Kasyaf

Cahaya singkapan iaitu Nur Al-Qur’an yang merupakan nur yang paling tinggi
dan mamberi kesan yang istimewa. Nur ini dapat menggilapkan cermin hati
para insan dengan membaca ayat-ayat suci,dzikrullah
(takbir,tahmid,tasbih,taqdis dan lain-lain); juga dengan memakan makanan yang
halal, berlaku ikhlas, berpuasa meninggalkan sesuatu yang memesongkan,
sentiasa membersihkan diri dan peribadi dengan mengekalkan wudhu’ dan
menjaga segala waktu untuk ketaatan dan berbakti kepada Allah s.w.t.
Firman Allah swt :
Wahai manusia se,sungguhnya telah datang kepadamu bukti
kebenaran dari tuhanmu (nabi Muhammad dan mujizatnya); dan
kami telah menurunkan kepadamu satu cahaya (Al-Qur’an) yang
terang benderang.27􀁇
Menurut golongan Sufi bahwa nur ini memungkinkan mengangkat pandangan
basirah kepada ‘Arasy dan Kursi dan menyaksikan segala nur-nur yang indah
hingga terbuka segala rahsia-rahsia alam dan bermacam-macam rupa alam
ghaib.
Nur inilah yang menyelubungi peribadi Nabi Muhammad s.a.w sehingga beliau
dapat memandang atau mengetahui sesuatu dengan izin Allah. Dikala beliau
pulang dari pengembaraan Isra’ dan Mi’raj, orang-orang kafir mengerumuni
beliau bagi menguji kebenaran pelajarannya. Mereka menanyakan sifat-sifat
masjid Al-Aqsa dengan terang, tetapi pertanyaan itu dapat dijawab oleh nabi
dengan tepat sehingga segolongan manusia merasa hairan dan kagum lalu
mempercayai kebenaran Nabi s.a.w.
Nur inilah yang membukakan pandangan kepada Khalifah Umar b.Al-Khattaab
yang berada di kota Madinah dapat melihat daerah Nahawand dan melihat
panglima dan tentara-tentara Islam yang sedang berjuang menyerang tenteratentera
Parsi dibawah raja Yazdajird III dimana beliau mengeluarkan perintah
menggempur musuh dengan hebat. Suara Umar didengar pula oleh panglima
Hudzaifah Al-Yaman sehingga beliau berjaya menumpaskan mereka.
Pada suatu masa ditanyakan Rasulullah s.a.w. dengan pertanyaan: "Apakah Nur
itu?"

Beliau menjawab: "Apabila nur itu memasuki hati maka lega dan lapanglah hati
itu." Kemudian ditanyakan lagi: "Bagaimanakah tandanya?" Sabdanya: "Hati itu
tidak lupakan perkembaliannya ke Darul Khuld (negeri Akhirat) Dia tidaklah
bermasyghul (berleka-leka) dengan keduniaan kerana dunia ini adalah tempat
perayaan (dan Percubaan).Hati itu selalu mengingati kematian sebelum tibanya
kematian itu."
Abdullah b. Mas’ud pernah berkata:
Ilmu itu diperoleh bukanlah kerana semata-mata banyak riwayat
(sumber biasa), tetapi dia hanya diperoleh dengan nur yang
dicampakkan Allah ke dalam hati seseorang.

MAKRIFATULLAH

Allah berfirman tentang ibadat:
“Dan tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk
mengabdikan diri kepadaKu”.28
Dalam lain perkataan, ‘mereka diciptakan supaya mengenali Daku’. Jika
seseorang tidak mengenaliNya bagaimana dia boleh memujiNya dengan
sebenar-benarnya, meminta pertolonganNya dan berkhidmat kepadaNya?
Makrifat yang diperlukan bagi mengenaliNya boleh dicapai dengan menyingkap
tabir hitam yang menutupi cermin hati seseorang, menyucikannya sehingga
bersih dan menggilapkannya sehingga bercahaya. Kemudian perbendaharaan
keindahan yang tersembunyi akan memancar pada rahsia cermin hati.
Allah Yang Maha Tinggi telah berfirman melalui rasulNya:
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin
dikenali, lalu Aku ciptakan makhluk supaya Aku dikenali”. 29
Tujuan suci diciptakan manusia ialah supaya mereka mengenali Allah,
memperolehi makrifat.
Ada dua peringkat makrifat yang suci. Seseorang itu perlu mengenali sifat-sifat
Allah dan dalil-dalil yang menjadi kenyataan atau penzahiran bagi sifat-sifat
tersebut. Satu lagi ialah mengenali Zat Allah. Di dalam mengenali sifat-sifat
Allah manusia secara zahirnya dapat menikmati kedua-duanya iaitu dunia dan
akhirat. Makrifat yang memimpin kepada Zat Allah tidak diperolehi dengan diri
zahir manusia. Ia terjadi di dalam jiwa atau ruh suci manusia yang berada di
dalam dirinya yang zahir ini.
“Dan Kami telah perkuatkan dia (Isa) dengan ruh kudus”.30
Orang yang mengenali Zat Allah menemui kuasa ini melalui ruh kudus (suci)
yang dikurniakan kepada mereka.
Kedua-dua makrifat tersebut diperolehi dengan hikmah kebijaksanaan yang
mempunyai dua aspek; hikmah kebijaksanaan kerohanian yang di dalam dan
pengetahuan zahir tentang benda-benda nyata. Kedua-duanya diperlukan untuk
mendapatkaan kebaikan. Nabi s.a.w bersabda, “Pengetahuan ada dua bahagian.
Satu pada lidah yang menjadi dalil tentang kewujudan Allah, satu lagi di dalam
hati manusia. Inilah yang diperlukan bagi melaksanakan harapan kita”.
Allah berfirman:
“Barangsiapa berharap menemui Tuhannya, hendaklah dia
mengerjakan amal salih dan janganlah dia mempersekutukan
sesuatu dengan Allah dalam ibadatnya kepada Tuhannya”.31

Apa yang dihuraikan sebagai daerah makrifat itu adalah tahap penghabisan bagi
daerah kejadian yang pertama. Ia adalah permulaan dan merupakan rumah
yang setiap orang kembali ke sana. Di samalah ruh suci dijadikan. Apa yang
dimaksudkan dengan ruh suci adalah ruh insan. Ia dijadikan dalam bentuk yang
paling baik.
Kebenaran atau hakikat tersebut telah ditanam di tengah-tengah hati sebagai
amanah Allah, diamanahkan kepada manusia agar disimpan dengan selamat. Ia
bangkit dan menyata melalui taubat yang sungguh-sungguh dan usaha sebenar
mempelajari agama. Keindahannya akan memancar ke permukaan apabila
seseorang itu mengingati Allah terus menerus, mengulangi kalimah “La Ilaha
Illallah”. Pada mulanya kalimah ini diucapkan dengan lidah. Bila hati sudah
hidup ia diucapkan di dalam, dengan hati.
PERTEMUAN DENGAN ALLAH SWT DI AKHIRAT
Melihat Allah ada dua jenis: Pertama melihat sifat keindahan Allah yang
sempurna secara langsung di akhirat’ dan satu lagi melihat sifat-sifat ketuhanan
yang dipancarkan ke atas cermin yang jernih kepunyaan hati yang tulen di
dalam kehidupan ini. Dalam hal tersebut penyaksian kelihatan sebagai
penzahiran cahaya keluar daripada keindahan Allah yang sempurna dan dilihat
oleh mata hati yang hakiki.
“Hati tidak menafikan apa yang dia lihat”.32
Mengenai melihat kenyataan Allah melalui perantaraan, Nabi s.a.w bersabda,
“Yang beriman adalah cermin kepada yang beriman”. Yang beriman yang pertama,
cermin dalam ayat ini, adalah hati yang beriman yang suci murni, sementara
yang beriman kedua adalah Yang Melihat bayanganNya di dalam cermin itu,
Allah Yang Maha Tinggi. Sesiapa yang sampai kepada makam melihat
kenyataan sifat Allah di dalam dunia ini akan melihat Zat Allah di akhirat, tanpa
rupa tanpa bentuk.
Kenyataan ini disahkan oleh Saidina Umar r.a dengan katanya,
“Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku”.
Saidina Ali r.a berkata,
“Aku tidak menyembah Allah kecuali aku melihatNya”.
Mereka berdua tentu telah melihat sifat-sifat Allah dalam kenyataan. Jika
seseorang melihat cahaya matahari masuk melalui jendela dan dia berkata, “Aku
melihat matahari”, dia bercakap benar.
Allah swt boleh dikenali di dalam dunia ini melalui sifat-sifatNya. Tetapi untuk
melihat dan mengenali ZatNya sendiri hanyalah boleh terjadi di akhirat. Di sana
melihat Allah adalah secara langsung sebagaimana yang Dia kehendaki dan
yang melihatnya adalah mata bagi hati.
“Beberapa muka pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya
mereka melihat”.33
Nabi s.a.w bersabda :
“Aku melihat Tuhanku di dalam rupa jejaka tampan”34
Mungkin ini adalah bayangan bagi hati. Bayangan adalah cermin. Ia menjadi alat
untuk menzahirkan yang ghaib. Hakikat Allah Yang Maha Tinggi tidak
menyerupai sesuatu samada bayangan atau bentuk. Bayangan adalah cermin,
walaupun yang kelihatan bukanlah cermin dan bukan juga orang yang melihat
ke dalam cermin. Fikirkan tentang itu dan cubalah memahaminya kerana ia
adalah hakikat kepada alam rahsia-rahsia.
Tetapi semuanya berlaku pada makam sifat. Pada makam Zat semua kenyataan
hilang, lenyap. Orang yang di dalam makam Zat itu sendiri lenyap tetapi mereka
merasai zat itu dan tiada yang lain.


DOA NUR

Pertama

Rasulullah saw apabila bangun dari tidurnya, maka ia berdoa dengan membaca :
Ya Allah, segala puji bagiMu. Engkaulah cahaya bagi sekelian langit dan bumi
dan segala yang berada di dalamnya. Segala puji bagiMu Engkaulah yang
menerangi langit dan bumi dan segala yang berada di dalamnya. Segala puji
bagiMu engkaulah yang berkuasa bagi langit dan bumi dan segala yang berada
di dalamnya. BagiMu segala puji tiada Tuhan melainkan Engkau. JanjiMu itu
benar, pertemuan denganMu itu benar, syurga itu benar, para nabi utusanMu itu
benar dan Nabi Muhammad saw itu benar.

Kedua

Ya Allah, Engkaulah cahaya. Engkau telah menerangi langit dan bumi dengan
cahaya petunjukMu dengan ghaib pada zat mereka atas ketauhidan kepadaMu
dan pengenalan padaMu. Maka Engkaulah cahaya yang nyata, Yang memberi
petunjuk, Yang Gagah lagi Perkasa. CahayaMu tiada yang dapat menyerupai
pada sekelian alam. Zat kewujudanMu itu tetap dan tiada sesuatu yang dapat
menyerupai dan bersekutu denganMu.

Ketiga

Ya Allah, terangilah diriku dengan cahaya sifatMu yang terang benderang, dan
dengan zatMu yang suci dari segala penyucian, yang terpelihara, yang bebas
dari segala penyerupaan, dan keluasan ilmuMu yang maha meliputi segala
sesuatu dan kewujudan. Zahirkanlah pada hatiku dari cahayaMu yang
melenyapkan dengannya segala mata kegelapan alam ini dan cahaya yang
melenyapkan dariku hijab-hijab kemanusiaan, dan menghilangkan dariku segala
kehendak-kehendak kemanusiaan untuk mefana’kan diriku pada diriMu dan
bagi mendapatkan cahaya petunjukMu. Sesungguhnya Engkaulah Allah Tuhan
yang Bercahaya, terangilah diriku dengan cahayaMu wahai Cahaya.

Keempat

Ya Allah, terangilah daku dengan cahayaMu. Ya Allah, wujudkanlah cahaya
pada hatiku, pada anggotaku, pada darahku, pada tulangku, pada rambutku,
pada jasadku, dan cahaya pada kananku, cahaya pada kiriku, cahaya dari
bawahku, cahaya dari atasku yang meliputi diriku wahai Cahaya dari sekelian
cahaya.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...