Tentang Thoriqoh


Pengertian
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan organisasi keagamaan sebagai wadah pengamal ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah, yang merupakan salah satu pilar dari ajaran Islam ala Ahlussunah Wal Jama’ah yang telah dirintis dan dikembangkan oleh para Ulama’ salafus sholihin, yang bersumber dari Rosulullah SAW. dari Malaikat Jibril AS. dan atas petunjuk Allah SWT. dengan sanad yang muttasil.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah merupakan suatu sarana bagi para Mursyid/Muqoddam/Khalifah, untuk lebih mengefektifkan pembinaan terhadap para murid yang telah berbaiat sekaligus sebagai forum untuk menjalin ukhuwah antar sesama penganut ajaran Thoriqoh dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan dan keikhlasan didalam amaliyah ubudiyyah serta meningkatkan robithoh terhadap guru Mursyid/Muqoddam/Khalifah.
Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah memiliki konsep yang senafas dengan konsep dan gagasan kemerdekaan Republik Indonesia dalam rangka membangun generasi bangsa yaitu membangun manusia dari jiwa/rohaniyah dengan memperbaiki akhlaq, keimanan, ketaqwaan dan baru kemudian pembangunan fisik/jasmaniyyah.
Namun demikian dalam ajaran Thoriqoh Al Mu’tabarah tetap menjaga keseimbangan antara syariat, thoriqoh, hakikat dan ma’rifat yaitu ajaran Islam tentang Iman, Islam dan Ihsan sebagai sistem pemahaman, penghayatan dan pengamalan Islam yang menyeluruh.
Oleh karena itu Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah disamping memiliki komitmen untuk terus meningkatkan hubungan langsung kepada Allah SWT.,  juga memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap permasalahan umat dalam rangka membangun bangsa dan Negara yang lebih maju, modern, bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tumbuh sebagai bangsa yang beriman bertaqwa serta berakhlaq mulia melalui proses pembinaan yang terus menerus, pengamalan Takholli, Tahalli dan Tajalli.
Keberadaan Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An Nahdliyyah adalah perwujudan dari pelaksanaan ajaran Islam Ala Ahlussunnah Waljamaah secara konsisten yang menjadi faham Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.

Sejarah
Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang.
Lihat saja, misalnya hadist yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin Khatthab RA. berkunjung ke rumah Rosulullah SAW. Ketika dia telah masuk didalamnya, dia tertegun melihat isi rumah Beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk  berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA. yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang.
Maka kemudian Rosulullah SAW. menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rosulullah!... Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal ditangan tuan telah tergenggam kunci Dunia Timur dan Dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah. Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini adalah Rosul (utusan) Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kisra dari Persia.
Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi (akhirat) .”Suatu hari Malaikat Jibril AS. datang kepada Nabi SAW. setelah menyampaikan salam dari Allah SWT, dia bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman AS atau menjadi Nabi yang papa seperti Ayub AS.?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari".
Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah SWT. dan disana lapar aku bisa  bersabar dengan ujian Allah SWT. ”Bahkan suatu hari Rosulullah SAW. pernah bertanya kepada  sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rosulullah SAW..” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian yang lainnya.
Jumlah kalian banyak tetapi kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya Rosulullah.” Lalu Nabi SAW. segera menjawabnya: ”Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian! ”Apa yang dinyatakan oleh Rosulullah SAW. tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughayyabat (peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadi di separoh terakhir masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan.
Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah dan Zuhhad. Hanya saja ada perbedaan diantara mereka, kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Meskipun saat itu Daulah Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah Bani Abasyiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. di atas. Semua itu dikarenakan faktor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami kegersangan.
Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad yang gerakan-gerakannya untuk mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar untuk mendekatkan diri pada Allah SWT..  Gerakan yang muncul di akhir abad ke 6 (enam) hijriyyah ini, pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT., agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi).
Karenanya, pada saat itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.
Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi.
Pada saat itu disebut “Thoriqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Shufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thoriqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran). Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Isilah “thoriqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang Mursyid kepada muridnya.
Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “thoriqoh”. Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh Shufi didalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah SWT. dan ridlo-Nya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthma’inah, lalu ke nafsu mulhamah, kemudian  ke tingkat nafsu rodliyah, lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah SWT. dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barhamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.

sumber: http://thoriqoh-indonesia.org


EmoticonEmoticon

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...