Sabtu, Oktober 8

Cahaya Ditengah Kegelapan (1)


Senja di atas Indonesia teramat merah jingga, ketika syetan-syetan berkelebat memenuhi cakrawala. Lalu Nabi saw, menyabdakan agar kita menutup pintu-pintu rumah, menutup kendil dan makanan-makanan, menyuruh
anak-anak supaya segera masuk ke dalam rumah.

Sebab ketika senja menjelang surupnya, syetan berkeliaran di mana-mana. 
Apa yang terjadi ketika musim senja tiba? Sebuah fakta, bahwa kita segera memasuki kegelapan malam. Jubah-jubah hitam membungkus bumi. Angin wabah menusuk jantung. Hanya hati kita yang bergantung di langit, bersama bintang-bintang, bahkan bersama siraman cahaya purnama. Hati kita.

Kita sedang istirah dalam doa-doa malam. Kita ditunggu Allah di sepertiga terakhirnya. Kita lampiaskan segala keluh kesah dan kekesalan atas kezaliman. Kita sampaikan pula segumpal darah yang menyelinap di dalam dada kita. Hati yang kita pasrahkan kepadaNya. Kita gemuruhkan tabuhan-tabuhan tasbih, sholawat dan permohonan ampunan. Kita gali sungai airmata dari mata air kemahaindahanNya (Jamaliyah-Nya). Sebab, Fajar Kehidupan menunggu masa depan kita.

Itulah awalnya. Ketika, kita bangun pagi, tiba-tiba di depan kita, negeri ini, adalah reruntuhan. Ia dihadapkan pada kenyataan, betapa bangsanya hanyut dalam mimpi 32 tahun, dan begitu bangun segalanya telah musnah. Dengan tertatih-tatih bersama sisa-sisa waktu, ada seorang pemimpin membangkitkan lagi semangat, menyalakan lagi api, meniupkan lagi nafas-nafas masa depan, mengumpulkan kembali sisa-sisa bangunan, dan mengaduk kembali mana yang bisa dipakai, mana yang harus dibuang, sembari membawa bahan-bahan baru yang mengokohkan bangunan rumah bangsa ini.

Dulu rumah bangsa ini runtuh karena dikuasai oleh hantu-hantu politik, hantu-hantu koruptor, hantu-hantu mafioso. Hantu itu beranak pinak, sampai menghuni seluruh sudut rumah bangsa, dan berjuta-juta penghuni rumah itu mengikuti kegelapan demi kegelapan hantu itu. Maka, ketika seorang Kiai menyalakan lilin dan menyiramkan cahaya, hantu-hantu mulai gentayangan kembali mencari celah-celah untuk mematikan lampu-lampu dan lilin-lilin itu. Kiai itu terjengah bukan main, setiap kali ia menyalakan lampu dan lilin, ada badai meniupnya, ada nafas-nafas malam yang kotor menyebulnya. Lalu sekuat tenaga ia kobarkan cahaya, tetapi badai kegelapan juga sangat berbahaya, bahkan mereka bagai siluman saling mengoyak, saling berebut untuk meniup cahaya-cahaya itu.

Istana yang dulu dihuni oleh hantu, dipenuhi oleh siluman negerinya, mulai sedikit bercahaya. Tetapi sayang sekali, cahayanya tidak sampai menembus di Gedung Rakyat yang gelap gulita, di wilayah Senayan sana. Sebab pesta kegelapan tak juga berakhir, sedangkan gedung itu adalah milik rakyat yang merindukan cahaya-cahaya masa depan. 

Tak bisa dihindari akhirnya, sebuah pertempuran dahsyat antara cahaya dan kegelapan, antara benderang hati dan gelapnya nafsu, antara amanah-amanah yang harus dipikul dengan ambisi-ambisi yang ingin merebutnya, antara ruang-ruang peradaban melawan lorong-lorong mengerikan, antara mereka yang membawa kilat cakrawala dengan kemunafikan-kemunafikan yang menutup mata hatinya, menyumpal telinga jiwanya, membungkam lisan kebenarannya.

Tiba-tiba jarum jam sejarah berputar cepat memasuki empat belas abad silam. Ketika Nabi dengan para sahabatnya bertempur melawan angkara murka kafir-kafir Quraisy di lembah dan bukit-bukit Uhud. Kemenangan hampir-hampir di tangan, tiba-tiba kemunafikan menyelimuti sejumlah pasukannya, lalu mereka tersungku dalam perebutan jarahan perang, dan akhirnya mereka raih kekalahan.

Perang Uhud adalah kemenangan pasukan kegelapan, pasukan kemunafikan, pasukan kefasikan, pasukan yang memberhalakan duniawi, pasukan-pasukan berhala. Perang Uhud adalah kemenangan syetan dan Iblis, kemanangan asap hitam yang menyesakkan seluruh dada penghuni bumi, kemenangan siluman dengan sejuta topeng politiknya. Itulah hebatnya kafir-kafir, ketika ia terdesak dalam kekalahannya, tiba-tiba ia melemparkan umpan agar segera dijarah oleh hipokrit-hipokrit, sampai mereka lupa diri, dan setelah itu dihancurkan.

Saya memasuki kembali dunia normal saat ini. Di negeri ini, di alam nyata ini. Saya melihat melihat harapan ketika memangkan sebuah pertempuran melalui komitmen moral di padang pertempuran Badar Nusantara, dimana kekuatan minoritas kebenaran hendak mengalahkan mayoritas kemungkaran. Tak disangka, dalam membawa pasukan bangsa ini, kita harus melewati apa yang disebut Perang Uhud Nusantara. Di bukit dan lembah-lembah Uhud Nusantara, sesungguhnya strategi sudah dicanangkan, kemenangan sudah di tangan, tetapi tiba-tiba kemunafikan mengoyak-ngoyak kita semua. Konspirasi nafsu kita telah mengalahkan dan meniup cahaya kebenaran.(bersambung)


EmoticonEmoticon

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...