Sabtu, Oktober 8

Cahaya Ditengah Kegelapan (2)


Sebuah bahaya besar mengguncang dari dalam tubuh bangsa ini, ketika kapal besar bangsa ini menyeberangi bahtera menuju benua impian, dan siap melawan bajak-bajak laut yang bertopeng mengerikan, tiba-tiba dari dalam kapal muncul pemberontakan yang disulut oleh segelintir manusia yang tidak menginginkan sang nakhoda dan wakil nakhoda bersatu menuju benua itu. Pertempuran melawan bajak-bajak laut itu tengah berkecamuk, dan kemenangan demi kemenangan diraihnya, tiba-tiba di saat hendak lari dari samudera kebangsaan, bajak laut itu melempar pundi-pundi agar diperebutkan para penunggang kapal besar bangsa ini. 

Maka, bisa dibayangkan, betapa riuh rendahnya suara berebut dalam kapal besar itu. Melihat kenyataan seperti itu, bajak-bajak laut menyerang kembali, dan merobek kapal besar itu. Gemrincing pertempuran semakin seru, dan sungguh, kapal besar itu mulai tergenang gelombang samudera, pelan-pelan mulai tenggelam.

Para bajak laut dan kaum hipokrit itu mulai merayakan kemenangannya. Mereka berpesta, bahwa pasukan-pasukan kebenaran telah kalah, dan mereka angkat wakil Nakhoda itu menjadi pemimpin barunya, dengan kapal baru, dimana seluruh teknologi kapal itu sudah dikuasai para pembajak itu. Sehingga nakhoda baru itu hanya bisa mengikuti apa yang diperintahkan mereka.

Nakhoda dan seluruh bangsa yang masih mengikutinya, mulai ditenggelamkan oleh koyakan gelombang demi gelombang. Gelombang yang digerakkan oleh badai kejahatan. Tiba-tiba Lautan Putih muncul di permukaan, menarik kapal besar yang hendak tenggelam itu. Dan kapal itu pun bersandar pada pulau kebenaran di dalam samudera. Pulau itu adalah pulau Khidhir, dimana ada bangunan masjid yang dibangun dengan mutiara-mutiara hikmah dan pengetahuan, menaranya menjulang sampai ke Baitul Ma’mur sana. Betapa indah dan eloknya bangunan masjid itu, betapa agung dan megahnya ruang-ruang besar di dalamnya. Di luar bangunan masjid Khidhir ada bangunan-bangunan peradaban, bangunan Kota Ilahi yang dihuni oleh para Sufi. Nakhoda itu bersandar di sana, dan seluruh bangsa yang telah dibersihkan dari kemunafikannya. 

Sementara para bajak laut dan kaum munafiq, menganggapnya, bahwa Nakhoda dengan kapal besarnya telah ditelan samudera, menjadi santapan hiu ganas, menjadi bangkai yang tak akan pernah hidup lagi. 

Lebih baik mereka menyangka demikian. Biarkanlah, lebih baik mereka terus berpesta. Lebih baik mereka terus membagi-bagi tugas kemenangan yang diraihnya. Lebih baik mereka terus melaju dengan kapal hipokrianya. Lebih baik mereka terus melajukan kapalnya menuju sebuah benua, bukan benua masa depan, tetapi benua masa lalu tanpa hatinurani. Benua penyesalan.

Sebuah benua yang dituju oleh nakhoda itu, sesungguhnya bukanlah benua impian Dan benar ketika warna merah adalah merah senja yang jingga, bertepatan ketika kapal itu sampai di dekat benua. Gerbangnya adalah tengkorak-tengkorak manusia, sungainya adalah keringat rakyat, minumnya adalah darah, makanan-makanannya adalah aspal jalan raya dan hutan-hutan kayu yang dulu pernah rimbun penuh anugerah, pestanya adalah intrik-intrik politik, kata-katanya adalah kotoran, bangunan-bangunannya adalah hasil perampokan, menara-menara yang menjulang hanya sampai pada mendung hitam yang menggantung di cakrawala. Bahkan matahari pun tak pernah menembuskan cahayanya. Mengerikan.

Apa pun pesta yang sedang diselenggarakan itu, apa pun foya-foya kegembiraan yang disebar-sebar itu, apa pun bendera-bendera yang dikibarkan itu, masa lalu hanyalah sebuah penyesalan. Kita tidak ingin mengecewakan bangsa ini, dengan trauma-trauma, dengan darah dan kekerasan, dengan intrik, korupsi, kolusi, nepotisme dan segala hal yang terus menerus berselingkuh di balik celah-celah rumah bangsa.

Ayo! Kita berangkat! Menuju benua impian kita, menuju demokrasi yang sesungguhnya, menuju cahaya kebenaran yang dinyalakan oleh kalbu-kalbu kita. Jangan takut dan jangan gelisah, karena kekasih-kekasih Tuhan itu tidak pernah takut dan tidak pernah gelisah. Kita akan menaiki Kapal Jiwa bersama Allah, sebab, Allah menyertai kita.

Saya merekam seluruh peristiwa itu. L;alu saya tulis dengan tinta Lautan Khidhir dan gerak-gerik pena kefanaan jemari kehambaan. Saya tulis di atas kertas dari Cahaya Lauhul Mahfudz, agar kelak dibaca dan didengar oleh mereka yang sedang menyaksikan peradilan sejarah bangsa ini, siapa sesungguhnya yang benar, siapa sesungguhnya yang merekayasa, siapa sesungguhnya yang menjadi alat-alat, siapa sesungguhnya yang berselingkuh dalam kemunafikan, siapa sesungguhnya lawan yang sesungguhnya.

Saya mencoba menahan keharuan yang mengembang di atas kelopak mata. Tetapi dada telah basah oleh airmata. Terkadang yang tampak di depan mata saya adalah Sayyidina Al-Husein yang dikhianati dan dizalimi, terkadang yang tampak adalah pemuka Syuhada’ Sayyidina Hamzah yang jadi korban kemunafikan di lembah Uhud. Kadang yang tampak adalah senyum Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang miskin, kadang yang tampak adalah kegagahan Sholahuddin Al-Ayyubi. Kadang yang tampak adalah peristiwa kekalahan, lalu yang mengembang dari putik melati adalah aroma moral sejati seorang negarawan. Kadang yang tampak adalah Sayyidina Ali yang ditikam oleh intrik kemunafikan, kadang yang tampak adalah keelokan Yusuf yang dirobek bajunya dari belakang oleh nafsu Zulaikha.

Mungkin saja membuat anda muak, ketika nafsu anda bergerak membuka lembar demi lembar kebenaran. Mungkin saja jantung anda tertusuk, ketika darah hitam duniawi membisul dalam segumpal jantung anda. Mungkin saja bibir anda menyungging ke arah sudut paling sinis, ketika ambisi dan keangkuhan anda yang membaca. Bahkan tulisan ini menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan mengusir nurani anda, ketika anda membaca dengan kacamata kemunafikan.

Bacalah dengan mata hati dan kalbu kehambaan: Jika tulisan ini terasa pahit, biarlah jadi penyembuh duka anda. Jika terasa manis, semoga jadi penghangat kebekuan anda. Jika terasa asam, semoga pengejut kealpaan hati anda. Jika terasa pedas, jadikanlah sambal hidangan makanan jiwa anda. Jika terasa asin, itulah memang sari lautan yang mentralisir kebingunan anda. Selebihnya, Wallahu A’lam bish-Shawab.



sumber:http://www.sufinews.com/index.php/Sketsa-Sufi/cahaya-ditengah-kegelapan


EmoticonEmoticon

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...