Minggu, September 25

Ihsan, Tasawuf, dan Psikoterapi (bag 1)

DR. Nurcholis Madjid
Dalam  kaitannya  dengan  pendidikan akhlaq mulia kita melihat hubungan ihsan dengan ajaran kesufian atau tasawuf. Menurut K.H. Muhammad Hasyim  Asy’ari, dengan mengutip Kitab Futuhat al-Ilahiyyah, ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan menjalankan thariqat:
Qashd shahih, artinya, dalam menjalani thariqat itu ia harus mempunyai tujuan yang benar, yaitu niat menjalaninya sebagai ubudiyyah, yakni penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Benar (al-Haqq), dan berniat memenuhi haqq al-rubbiyyah, yakni hak Ketuhanan Allah Ta’ala, bukan untuk meraih keramat  atau pangkat, juga bukan untuk memperoleh hasil yang bersifat nafsu seperti ingin dipuji orang lain dan seterusnya;

Shidq  sharif, artinya kejujuran  yang tegas, yaitu bahwa murid harus membenarkan dan memandang gurunya sebagai memiliki rahasia keistimewaan (sir al-khushushiyyah) yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi atau hadlrat al-Ilahiyyah;
Adab mardliyyah, artinya, tatakrama yang diridhai, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat harus menjalankan tatakrama yang  dibenarkan ajaran agama, seperti sikap kasih sayang kepada orang yang lebih rendah, menghormati orang lain sesamanya dan yang lebih tinggi, sikap jujur, adil dan lurus terhadap diri sendiri, dan tidak memberi pertolongan kepada orang lain hanya karena kepentingan diri sendiri;
Ahwal zakiyyah artinya, tingkah laku yang bersih, yaitu bahwa orang masuk thariqat tersebut tingkah lakunya dan ucapan-ucapannya harus sejalan dengan syari’at Nabi Muhammad Saw.;  
Hifz al-hurmah, artinya, menjaga kehormatan, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat harus menghormati gurunya, hadir atau gaib, hidup atau pun mati, dan menghormati sesama saudara pemeluk Islam, tabah atas sikap-sikap permusuhan saudara, dengan menghormati orang yang lebih tinggi dan cinta kasih kepada orang yang lebih rendah;
Husn al-khidmah, artinya, orang yang masuk thariqat harus mempertinggi mutu pelayanannya kepada guru, pada sesama saudara pemeluk Islam, dan kepada Allah Swt. Dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya al-shiddiq-un dan itulah al-maqshud al-a’dzham (tujuan agung)mengikuti thariqat;
Raf’ al-himmah, artinya, mempertinggi mutu tekad hati, yaitu bahwa orang masuk thariqat tidak karena tujuan-tujuan dunia dan akhirat tapi karena hendak mencapai ma’rifat khashshah (ma’rifat atau pengetahuan khusus atau istimewa) tentang Allah Swt.;
Nufudz al-’azimah, artinya, kelestarian tekad dan tujuan, yaitu bahwa orang  yang masuk thariqat harus menjaga kelestarian tekad dan tujuannya, memelihara kelanjutan menjalankan thariqatnya, demi meraih ma’rifat khashshah tentang Allah Ta’ala, dan bila melakukan kebajikan maka ia melakukannya dengan  lestari sehingga berhasil (Lihat, Muhammad Hasyim Asy’ari, al-Durrar al-Muntatshirah fi al-Masa’il al-Tis’ al’Asyarah, tanpa tempat penerbitan,  1359  H/1940  M,  hal. 16-17). 

KH. Hasyim Asy’ari juga menegaskan bahwa tujuan menjalankan ialah mempertinggi  tatakrama, adab atau akhlaq.Ia mengutip sebuah syair dari Kitab Al-Mabahits al-Ashliyyah, demikian:

“Tujuan thariqat ialah pendidikan tatakrama, dalam  segala tingkah laku, dan itulah madzhabnya.”

Dengan  mengutip  Abu al-Hasan al-Syadzili, KH. Hasyim Asy’ari mengetengahkan empat  tatakrama yang seseorang tidak dapat disebut pengikut thariqat jika tidak menjalaninya, betapapun luasnya pengetahuan  orang tersebut. Empat tatakrama atau akhlaq  itu  ialah: 
Menjauhi  semua  orang yang bertindak dzalim, seperti penguasa atau orang kaya yang berlaku tidak adil pada orang lain;
Menghormati orang yang memusatkan perhatiannya pada akhirat;
Menolong kaum melarat; 
Selalu melakukan shalat  berjama’ah dengan orang banyak Kata K.H. Hasyim Asy’ari selanjutnya, “Telah berkata Imam Muhy al-Din Ibn al’Arabi, ra. Adapun empat akhlak itu, maka siapa saja yang menjalankan keempat-empatnya, ia sungguh  telah menggabungkan semua kebajikan, yaitu: 
Ta’zhim hurumat al-muslimin, artinya, menjunjung kehormatan semua orang Islam;
Khidmat al-fuqara wa al-masakin, artinya, melayani kaum fakir-miskin; 
Wal-inshaf min nafsihi, artinya, jujur dan adil mengenai diri sendiri;  
Tark al-intishar la-ha, artinya, tidak memberi pertolongan hanya semata karena kepentingan diri sendiri.”
Selanjutnya,  KH.  Hasyim Asy’ari, dengan mengutip Suhrawardi, menjelaskan bahwa  jalan kaum sufi ialah niat untuk membersihkan jiwa dan menjaga  hawa nafsu, serta untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk  ‘ujub, takabbur, riya’ dan hubb al-dunya (kagum pada diri sendiri, sombong, suka pamrih, dan cinta kehidupan duniawi), dan lain sebagainya, serta menjalani budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti ikhlas, rendah hati (tawadldlu), tawakkal (bersandar dan percaya kepada Tuhan), selalu memberikan perkenan hati pada setiap kejadian dan terhadap orang lain (ridla), dan seterusnya, serta karena hendak memperoleh ma’rifat dari Allah dan tatakrama di hadapan Allah (ibid, hal. 18).
Kesufian merupakan cabang  keagamaan dalam Islam yang sering tampak kontroversial.  Beberapa tokohnya menjadi sasaran kritik, bahkan penyiksaan  atau pembunuhan, disebabkan pendirian atau praktek mereka yang dianggap menyimpang dari agama yang benar.
Sekalipun KH. Hasyim Asy’ari, seperti terbukti dari keterangan di atas demikian menghargai tasawuf dan kaum sufi, namun beliau dikenal sangat keras terhadap setiap gejala penyimpangan dalam amalan thariqat. Sikap ini ia ungkapkan dalam risalahnya yang ia tulis pada tahun 1360 H. Al-Tibyanfi al-Nahy ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Percetakan Nahdlatul Ulama, tt.).
Jadi ihsan yang diwujudkan secara nyata dalam tasawuf, kemudian yang dipraktekkan melalui ajaran thariqat, pada analisa terakhir adalah sebuah wawasan tentang kebulatan, kebenaran, atau kebenaran dalam dimensinya yang utuh.  Kemampuan menangkap kebenaran yang utuh itulah tingkat yang paling sulit dicapai oleh manusia, bahkan juga yang paling sulit dipahami. Sebabnya ialah, kebenaran dalam dimensinya yang utuh, justru dalam dirinya mengandung paradoks, dan orang dapat belajar menangkap keutuhan kebenaran itu jika ia terlatih melihat paradoks-paradoks dan berusaha menangkap apa hakikat yang ada di balik penampakkan lahiriahnya itu.
Pembahasan tentang kebenaran yang utuh dalam wujud yang paradoksal itu biasanya dilakukan dengan merujuk pada kisah dalam Kitab Suci tentang Nabi Musa as., dengan seorang yang dilukiskan sebagai seorang hamba Allah yang memperoleh ‘ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Tokoh ini dalam literatur kesufian biasa diidentifikasi sebagai Nabi Khidlir (al-Khidlr), yang agaknya merupakan nama perlambang akan kebenaran yang selalu hijau agar dan tidak pernah mati (khidlr artinya hijau).


EmoticonEmoticon

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...