Minggu, September 25

Ihsan, Tasawuf, dan Psikoterapi (bag 2)

Dalam kisah itu dituturkan bagaimana seorang Nabi yang hebat seperti Musa tidak tahan, dan memprotes keras sekali-kali melihat tingkah laku orang tua yang bijak dan menjadi gurunya itu, seperti tindaknya merusak perahu milik seorang nelayan miskin, membunuh bocah yang sedang asyik bermain dan menegakkan tembok rumah yang hampir roboh di sebuah desa yang penduduknya bersikap tidak ramah pada mereka berdua. Dan barulah Musa as, paham akan tingkah laku aneh gurunya itu ketika ia memperoleh keterangan saat mereka hendak berpisah: guru itu merusak perahu nelayan miskin, ialah justru untuk menyelamatkan miliknya yang berharga itu dari bahaya perampok yang memilih perahu-perahu --yang nampak baik dan utuh; ia bunuh bocah itu karena ia tahu dari Allah bahwa anak itu akan tumbuh menjadi penjahat dan membuat sengsara orang tuanya, padahal orang tuanya adalah lelaki-perempuan yang saleh, dan ia juga tahu Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih suci; ia tegakkan tembok rumah yang hendak roboh itu, karena di dalamnya terdapat harta anak yatim yang kini tinggal di kota dan ia bermaksud melindungi harta itu sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak yatim tersebut dan selamat dari gangguan pencurian penduduk desa yang akhlaqnya rendah itu.

Penampilan paradoksal tokoh-tokoh kesufian sudah cukup terkenal. Bahkan dalam anggapan yang sangat umum, keanehan sering justru dianggap sebagai bagian dari kualitas tokoh tersebut sebagai “orang suci” atau kekasih Allah (wali).  Namun justru disini letak masalahnya yang paling pelik, yaitu, menurut para filsuf kesufian sendiri, tidak ada seorang wali yang mengaku sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh agar disebut sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang aneh agar disebut sebagai seorang wali. Juga tak ada yang tahu bahwa seseorang itu wali kecuali seorang wali sendiri. Seperti dikatakan oleh penulis kitab Nata’ij al-Afkar sebagaimana dikutip ole KH. Hasyim Asyari:   Seorang wali tidak akan membuka pintu ketenaran dan pengakuan, bahkan kalau seandainya ia mampu mengubur dirinya tentu ia akan lakukan hal itu. Maka siapa saja yang menginginkan dirinya menonjol, tidaklah dia termasuk golongan thariqat sedikit pun juga, malah sebaliknya, dia berlawanan dengan tingkah laku mereka (golongan thariqat). (Muhammad Hasyim Asy’ari, Al-Durar antara lain Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’ al-’Asyarah,” dalam op cit, hal. 8-9)
Pandangan tentang keutuhan kebenaran yang mengandung paradoks ini juga dicerminkan dalam keterangan tentang sifat atau sikap Allah sendiri, seperti misalnya, bahwa Dia adalah Awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, dan bahwa Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, tapi juga Maha Dahsyat azhab-Nya: “Beritahukan kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azabku adalah azab yang amat pedih.” (Q.S. al-Hijr 15:49-50).  

Oleh karena Tuhan adalah Maha Esa (ahad; wahid), maka tidak mungkin Wujud-Nya terdiri dari dua bagian, pertama sebagai Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan kedua sebagai yang azab-Nya amat pedih. Paradoks itu hanyalah suatu wujud nisbi, sedangkan wujud mutlaknya berada di balik paradoks itu, yang justru karena kemutlakannya maka manusia tidak akan mampu menangkapnya.
Manusia hanya harus melatih diri untuk melihat paradoks-paradoks, dan mencoba memperoleh cita rasa (menurut istilah al-Ghazali, dzawq) kebenaran yang utuh di balik paradoks-paradoks, tanpa mesti mengetahui hakikatnya yang mutlak dan tak mungkin diraih yang nisbi itu.
Dengan mengutip Risalah Qusyayriyyah dan syarahnya, KH. Hasyim Asy’ari bahwa tauhid mengenal tiga jenjang: pertama penilaian bahwa Allah satu adanya; kedua, pengetahuan (dengan ilmu dan teori) bahwa Allah itu satu adanya; dan ketiga, timbulnya cita rasa penglihatan pada Yang Maha Benar (al-Haqq).
Yang pertama, adalah tauhid kaum awam; yang kedua, tauhid para ulama kaum eksoteris (ahl al-zhahir); dan yang ketiga, adalah tauhid kaum sufi yang telah mencapai ma’rifat dan yang memiliki pengalaman tentang hakikat. (Hasyim Asy’ari, “Al-Durrar,” dalam op. cit., hal. 10-11).   
Hukum paradoks yang oleh kaum sufi dicoba dihayati secara intens itu adalah sesungguhnya hukum atau Sunnah Allah (Sunnatullah) juga, seperti disebutkan dalam firman Allah: “Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan wujud berpasangan (yakni, terdiri dari dua bagian yang paradoksal), agar kamu renungkan.” (Q.S. al-Dzariyat 51:49). 

“Maha Suci Dia yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan; dari segala sesuatu yang ditumbuhkan bumi, dari diri mereka (manusia) sendiri, dan dari hal-hal lain yang tidak kamu ketahui (yakni, tidak dapat kamu pahami).” (Q.S. Yasin 36:36) 

Sebuah hadits menyebutkan tentang adanya sabda Nabi Saw. “Berakhlaq lah kamu dengan akhlaq Allah.” Berkenaan dengan masalah hukum paradoksal ini, sabda Nabi itu tentunya juga dimaksudkan antara lain agar kita mempunyai sikap menghayati melalui cita rasa, akan kebenaran yang utuh, yang mungkin terdiri dari paradoks-paradoks, dengan mencoba menerima hikmah yang ada di belakang, seperti (seharusnya) sikap Nabi Musa terhadap tingkah laku gurunya, al-Khidlr.
Dengan menerima kenyataan-kenyataun paradoksal sambil meyakini adanya hikmah di balik penampakan lahiriahnya, seseorang akan mengalami ketenteraman, atau gejolak untuk “memberontak” akibat sikap menolak paradoks-paradoks dapat ditekan. Ini dapat mempunyai dampak penyembuhan den penyehatan jiwa, seperti saat sekarang mulai banyak digunakan dalam teknik-teknik penyembuhan psikoterapis.
Dikatakan oleh Prof. Muhammad Shaalan, Guru Besar den ketua Departemen Neuro-pschiciatry Universitas Al-Azhar, Kairo, yang melihat kaitan pengalaman kesufian dengan psikologi modern aliran C.G. Jung: “The use paradox is not explicitly described as a technique in Jungian therapy, but the basis of it is there. Recently it has been given a name and clarified as technique. Paradoxes serve to bring out a person from complacency of accepting either I or concepts so that a different and higher state of consciousness is attained immediately. With the sufi, the use of paradox is not restricted to technique but is a genuine expression of his state of consciousness. By example and action rather than by preaching and teaching, a sufi conveys directly to the intuition of his follower the paradoxical nature of truth (Prof. Dr. Muhammad Shaalan, “Some Parallel between Sufi Practices and the path of individucation”, dalam J. Marvin Spiegelman, Ph.D., et al., ed., Sufism, Islam and Jungian Psychology (Scottsdale, Arizona: Falcon Press, 1991), hal. 88.
Penggunaan paradoks tidak dengan jelas digambarkan sebagai suatu teknik “penyembuhan” dalam terapi care Jung, tetapi dasarnya ada di sana. Baru-baru ini paradoks itu telah diberi sebuah nama dan dijelaskan sebagai teknik. Paradoks berguna untuk melepaskan seseorang dari rasa puas diri dalam menerima konsep-konsep yang bersifat ya atau tidak, sehingga tingkat kesadaran yang berbeda den lebih tinggi dapat segera dicapai.
Dengan seorang Sufi, penggunaan paradoks tidak dibatasi hanya sebagai teknik tetapi merupakan suatu ekspresi sejati tingkat kesadaran Sufi itu. Melalui percontohan dan tindakan, dan bukannya melalui wejangan dan pengajaran, seorang sufi secara langsung menyajikan intuisi pengikutnya (sifat paradoksal dari kebenaran). Sebuah ayat menegaskan bahwa kita harus bersifat adil sekaligus melakukan ihsan yaitu firman Allah: “Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan.” (QS. al-Nahl 16:90)  

Dari berbagai kemungkinan tafsir atas firman itu, melakukan keadilan terhadap segala suatu ialah memahaminya dalam kerangka pandangan yang berkeseimbangan (‘adl sendiri artinya seimbang) antara bagian-bagian yang nampak paradoksal, tanpa berat sebelah, dan dengan sikap menerima menurut apa adanya. Kemudian ihsan dapat diartikan sebagai usaha penuh ketulusan untuk mengapresiasikan segi hikmah di balik paradoks-paradoks.
Maka sikap tulus dan pasrah, yaitu Islam, tidak mungkin tanpa sikap percaya pada Allah, yaitu iman, yang menghasilkan pandangan positif-optimis pada-Nya dan ciptaan-Nya. Dari sini juga nampak dengan jelas bahwa Islam akan membawa kita pada kedamaian (salam) dan keselamatan (salamah), dan iman akan menghantarkan kita ke aman (rasa sentosa) dan rasa terlindung atau proteksi (amanah), kemudian, akhirnya ihsan tidak akan membingungkan kita menuju hidup yang bahagia (hasanah).
http://sufinews.com/index.php/Artikel/ihsan-tasawuf-dan-psikoterapi/Halaman-2.sufi


EmoticonEmoticon

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...