Minggu, September 25

Ridha Terhadap Qadha’ (bag 2)


“Gugatanku kepada-Nya tentang apa yang telah ditetapkan-Nya lebih pedih bagiku daripada keraiban putraku,” jawabnya.
Arah kedua, dia merasakan kepedihan dan secara naluri tidak menyukainya. Hanya saja ia ridha, disebabkan akal pikiran dan imannya, karena tahu banyaknya pahala yang disebabkan oleh kesusahan atau bencana. Seperti halnya orang sakit yang rela dioperasi dan minum obat. Karena dia tahu bahwa itu adalah faktor yang dapat menyembuhkan, bahkan ia merasa gembira bila ada orang yang menghadiahkan obat kepadanya, walaupun pahit.
Demikian halnya dengan seorang pedagang, dia rela menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, padahal itu bertentangan dengan nalurinya.
Hal semacam ini, ditemui pula dalam menggapai tujuan-tujuan duniawi. Lalu bagaimana mungkin hal itu tidak diakui keberadaannya dalam upaya menggapai kebahagiaan ukhrawi?
Dikisahkan bahwa seorang wanita dibukakan pintu oleh Al-Mushili Al-Anshari. Tiba-tiba wanita itu terjatuh hingga patah kukunya, namun masih sempat tertawa.
“Apakah Anda tidak merasakan sakit setelah terjatuh?” kata Al-Anshari.
“Sungguh, kelezatan imbalan pahalanya dapat menghilangkan kepahitan rasa sakitnya dan kalbuku,” jawabnya singkat.
Jadi, orang yang yakin bahwa imbalan pahala bencana (kesusahan) lebih besar dari apa yang dideritanya, tentu ia akan bersikap ridha.
Arah ketiga, seyogyanya Anda yakin bahwa Allah Swt. ada di balik semua keajaiban yang halus, bahkan sangat halus. Keyakinan semacam itu harus lahir dari kalbu seseorang. (Mengapa dan bagaimana) — dia tidak sampai terheran-heran terhadap apa yang berlangsung di permukaan alam semesta, yang oleh orang bodoh dikira kacau, runyam dan tidak stabil, sementara itu dia tahu bahwa rasa herannya tersebut seperti Musa as. yang terheran-heran terhadap perilaku Nabi Khidir as, membakar perahu anak-anak yatim, membunuh seorang anak dan membangun kembali dinding yang telah roboh seperti yang disebutkan dalam Surat Al-Kahfi.
Namun setelah Khidir as. membuka tabir dan rahasia apa yang dilakukannya, Musa menjadi paham dan tidak lagi merasa heran. Rasa heran beliau disebabkan oleh rahasia-rahasia yang masih tersembunyi tersebut.
Demikian pula dengan af’al Allah Swt. Sebagai contoh, di antara mereka yang bersikap ridha — setiap kali ditimpa musibah, berkata, “Yang terbaik adalah, apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt.”
Ia bersama keluarganya di sebuah padang sahara, sementara yang dimilikinya hanyalah seekor khimar yang membawa tenda, seekor anjing penjaga mereka, dan seekor ayam jantan yang membangunkan mereka dari tidur.
Pada suatu malam, datang seekor musang dan memangsa ayam jantan miliknya. Tahu bahwa ayamnya telah dimangsa musang, ia hanya berkata, “Itu yang terbaik.”
Kemudian datanglah srigala dan memangsa khimar miliknya. Mengetahui hal yang demikian, keluarganya merasa sedih, namun ia tetap berkilah, “Itu yang terbaik.”
Selanjutnya anjing satu-satunya yang dimilikinya terserang penyakit, lalu mati. Sekali lagi ia menanggapi kejadian menyedihkan itu dengan ucapan, “Itu yang terbaik.”
Keluarganya terheran-heran melihat sikapnya, hingga akhirnya tiba waktu pagi dan ia beserta keluarganya telah dikepung oleh perampok, lalu anak-anak mereka disandera dan dibawa pergi.
Tempat mereka diketahui dari kokok ayam jantan, tempat yang lain diketahui dari lolongan anjing, dan tempat sebagian mereka diketahui dari ringkik khimar.
Lalu ia berkata, “Anda telah tahu, bahwa yang terbaik adalah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. Kalau Allah Swt tidak membinasakan mereka, tentu Anda sekalian dan kami telah binasa.”
Dikisahkan pula, bahwa seorang Nabi melakukan ibadat di sebuah gunung yang berdekatan dengan sebuah mata air. Kemudian lewatlah seorang penunggang kuda dan singgah sebentar untuk minum dan mata air tersebut. Dompetnya yang berisi uang seribu dinar tertinggal.
Tidak lama berselang, datanglah orang lain lagi untuk minum pula, lalu ia mendapatkan dompet tersebut dan membawanya. Berikutnya, tibalah seorang laki-laki miskin memanggul seikat kayu bakar. Ia minum dan setelah itu berbaring untuk melepaskan lelah. Tiba-tiba datang si penunggang kuda untuk mengambil dompetnya yang tertinggal, namun tidak mendapatkannya.
Karena tidak mendapatkan uangnya, sementara yang ada di dekatnya adalah si miskin tersebut, si penunggang kuda menuduh dan menuntut si miskin untuk mengembalikan uangnya, ia memeriksa dan menyiksanya, namun demikian tetap tidak mendapatkan uangnya, akhirnya si pembawa kayu bakar pun dibunuhnya.
Menyaksikan peristiwa tersebut Nabi yang melakukan ibadat itu berseru, “Tuhanku, ada apa ini? Yang mengambil dompet berisi seribu dinar adalah orang lain. Namun mengapa Engkau menjadikan si penunggang kuda itu menzalimi si miskin tersebut hingga ia membunuhnya?”
Lalu Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya:
“Bersibuk-sibuklah kamu dengan ibadatmu! Mengetahui rahasia-rahasia Sang Maha Penguasa itu bukan urusanmu; si miskin pembawa kayu bakar itu telah membunuh ayah si penunggang kuda, karenanya Aku menempatkannya untuk mendapat qisas (balasan) darinya. Sedangkan ayah penunggang kuda itu telah mengambil seribu dinar dari harta milik orang yang mengambil dompetnya dan Aku mengembalikannya, sebagai warisannya.”
Jadi, orang yang meyakini rahasia-rahasia semacam ini tidak merasa heran terhadap af’aI Allah Swt. Rasa heran dan takjub itu dikarenakan ketidaktahuannya. Dia tidak akan berkata, “Mengapa dan bagaimana?” sehingga dia ridha terhadap apa yang telah ditentukan Allah di alam semesta-Nya ini.
Di sini ada empat segi yang bersumber dari pengetahuan terhadap kemahasempurnaan hikmah dan kasih-sayang Allah, terhadap sistematika sebab yang mengantarkan pada akibat. Mengenal qadha’ pertama, bagaikan kerdipan mata, dan terhadap qada yang merupakan sebab dan terwujudnya rincian qadha’.
Semua hal tersebut disusun dalam perspektif yang paling sempurna dan baik, tidak ada yang lebih sempurna dan Iebih baik dari itu.
Jika seseorang menimbun harta, dia itu tergolong kikir lagi lemah, bukan dermawan, yang bertentangan dengan takdir. Di balik itu berhimpun pengetahuan tentang rahasia takdir (sirrul qadar) Allah Swt. Sebagaimana orang yang yakin terhadap hal itu, hanya bersikap ridha dan rela terhadap setiap yang berlangsung dan bersumber dari Allah. Uraian tentang hal itu sangat panjang. 


EmoticonEmoticon

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...