THORIQOH NAQSYABANDI
(Sebuah telaah sejarah perkembangan thoriqoh Naqsyabandiyah)
Ardiansya Ahmad S.
(Summary Tesis Sdr. Ardiansyah Ahmad S. untuk program Pasca Sarjana
Jurusan Tasawuf dan Pemikiran Islam pada Institut Agama Islam Sunan Ampel Surabaya)
Apabila Islam dipisahkan dari aspek esotorisisme, maka akanmenjadi kerangka keformala, Islam hanyalan symbol yang melembaga layakanya sebuah kajian ke ilmuan yang dapat di tafsir berdasarkan perpektif ke ilmuan itu sendiri. Namun, jika Islam sebagai suatu yang esotoris maka Islam akan memiliki kekayaan rohani dan jiwa. Kekayaan rohani dan jiwa dapat melahirkan semangat menempuh kesempurnaan (kamil). Syeikh Sir Sayyid Ahmad
PROLOG SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM
H.A.R. Gibb dalam tesisnya “Modern Trends in Islam” The University of Chicago, 1947, memberikan suatu kesimpulan yang menarik untuk disimak.
“Islam memiliki sejarah yang sangat panjang tidak hanay dari sudut pandang expansinya (pelebaran kekuasaan pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Usman, Umar dan Ali ra. ) akantetapi juga diwarnai dengan munculnya pertikaian dan perdebatan panjang mengenai paham anta relit yang sama-sama mewakili suatu totoritas, yaitu otoritas hokum agama (ulama) dan ototritas spiritual (syeikh). Pertikaian dan perdebatan panjang itu telah banyak mengorbankan sisi lain perkembangan peradaban Islam yang sangat hebat dan toleran”.
Setelah apra khalifah Islam melakukan ekspansinya ke seluruh dunia hingga dua pertiga dunia dikuasainya, di sepanjang abad ke 2 H/8 M sampai ke 3H/9 M merupakan masa awal terjadinya pergolakan perdebatan pemikiran antara otoritas hokum agama (ulama’) dan otoritas spiritual agama (syeikh). Ketegangan yang merebak di kalangan penganut sufi (kaum spiritualis) dan rasa permusuhan yang ditanamkan para ahli huku (ulama’) juga merambah ke lintas politik,para penguasa memperoleh legitimasi untuk melakukan tindakan ketidaksukaan karena pengaruh gerakan kaum spiritualis (sufi) memperoleh dukungan yang tidak sedikit dari masyarakat. Pada masa periode ini, Islam mengalami proses kekosongan identitas dan pencarian bentuk. Pada priode ini Islam mengalami kemunduran intelektual dan juga peradaban. Peneliti-peneliti barat dan orientalis begitu banyak mengulas sisi ini sebagai serangan yang provokatif dan mendiskreditkan Islam, seperti Huston Smith, Prof. Louis Massignon dan Charles C. Adam, namun demikian banyak juga ilmuan barat dan orientalis menilai secara objekctif, seperti Marshall G.S. Hodgson, dalam “The Venture of Islam” H.A.R. Gibb dan yang paling belakangan sering muncul dalam ulasan-ulasannya yang objektif adalah Karen Armstrong dan Annimarie Schimmel yang sangat inten dalam pembelaannya terhadap kaum mistikus Islam.
Tragedi terbunuhnya Abu al Mughits al Hunain bin Mansyur bin Muhammad al Baihawi (244-309 H/857-922 M) atau yang dikenal dengan sebutan al Hallaj. Al Hallaj adalah seorang teolog sufi, yang kehidupan dan kematiannya telah member pencerahan dalam periode penting sejarah kebudayaan Islam, dan pengalaman batiniah atau spiritualitasnya ia gambarkan sebagai saat yang menentukan dalam sejarah tasauf.
Banyak para sufi besar mengakhiri hidupnya di tiang gantungan pada periode abad ke 2 dan 3 Hijriyah.Mengapa hal ini terjadi? Seorang sejaraan Victor Danner yang menganalisa perkembangan Islam klasik membuat suatu kesimpulan dalam “Sufi Essays” yang di muat dalam kumpulan makalah Islamic Spirituality Fondation, Originally Published in Englsh, 1997 yaitu :
“… tradisi Islam telah menjadi semakin formalistis, seperti telah kami kemukakan sebelumnya, dan akan lebih parah lagi jika dibiarkan mengikuti jalan alamiahnya di bawah kendali para ulama’ yang terlalu eksoterik. Yang disebut terakhir itu hanya menaruh perhatian terhadap pesan eksoteris dari agama”.










EmoticonEmoticon